Sebab Pemerintah Sulit Miliki Data E-Commerce

Meski sudah ada beberapa pelaku usaha, terutama pelaku e-commerce skala besar yang memberikan datanya, namun data tersebut masih belum cukup.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jan 2019, 18:38 WIB
Ilustrasi e-Commerce (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui masih kesulitan dalam mengumpulkan data transaksi jual beli daring alias e-commerce. Meski sudah ada beberapa pelaku usaha, terutama pelaku e-commerce skala besar yang memberikan datanya, namun data tersebut masih belum cukup.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA, Ignasius Untung, membeberkan beberapa alasan ketakutan pelaku usaha e-commerce enggan memberikan data ke BPS maupun membukanya ke publik.

Beberapa e-commerce menilau data ini bersifat pribadi. Artinya, apabila data tersebut bocor maka akan merugikan mereka.

"Lebih karena begini, bisnis modelnya adalah untuk cari funding, itu multi-sprint sekitar 8-12 bulan, terus cari lagi, cari lagi. Nah ketika data ini bocor, investor bisa saja bilang 'Oh jangan ke sini, tapi ke situ saja,' dengan begitu jadi jaga kompetisi," kata Untung saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Senin (14/1/2019).

Untung mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan apabila data transaksi jual beli online dibuka ke pemerintah. Asalkan data yang disampaikan nantinya hanya melalui satu pintu yakni BPS.

Selama ini, kata Untung justru banyak kementerian terkait lainnya yang juga menginginkan data transaksi penjualan e-commerce. Beberapa kementerian tersebut yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Direktorat Jenderal Perpajakan.

"Makannya kami bilang bisa tidak ke satu pintu saja, misalnya ke BPS saja. Jadi kami hubungannya dengan BPS. Kemarin saya sudah jajaki dengan Pak Kecuk, supaya nanti datanya machine to machine saja, jadi nanti datanya kesedot semua langsung. Itu sih pada dasarnya kami mau, asal jangan bocor saja," pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto mengakui masih kesulitan dalam mengumpulkan data transaksi jual beli daring alias e-commerce.

Katanya, BPS membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mengumpulkan seluruh data transaksi e-commerce.

"E-commerce kita masih butuh waktu, ya. Agak susah karena memang ini sesuatu yang baru. Tapi kita harapkan pelan-pelan lah ya," kata dia beberapa waktu lalu.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


Pajak E-Commerce Bakal Picu Pelaku UMKM Jualan di Media Sosial

Ilustrasi e-Commerce (iStockPhoto)

Pemerintah resmi mengeluarkan aturan pajak bisnis jual beli daring (online) atau e-commerce yang mulai berlaku pada 1 April 2019.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA, Ignasius Untung menilai, ada PMK ini justru akan mengancam platform e-commerce lokal.

Karena tidak bisa dipungkiri, masih banyak para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjual barang dagangannya melalui media sosial.

Menurut untung, kebanyakan dari pelaku UMKM menjual di media sosial lantaran aman, karena tidak dikenakan pajak daripada di e-commerce seperti Bukalapak, Tokopedia, dan lain sebagainya.

"Dari studi idEA menemukan bahwa 95 persen pelaku UMKM online masih berjualan di platform media sosial. Dan hanya 19 persen yang sudah menggunakan platform marketplace," kata Untung dalam konferensi pers, di Kantornya, Jakarta, Senin (14/1/2019).

Untung mengatakan, secara otomatis pemberlakukan PMK 210 pada plaform marketplace akan mendorong pedagang untuk beralih berdagang melalui media sosial yang minim kontrol. Berbagai masalah termasuk penipuan dan perlindungan konsumen pun dikhawatirkan meningkat.

"Tanpa pemberlakuan PMK 210 pun platform marketplace sudah harus berjuang keras untuk bersaing di tengah perlakuan yang tidak sama dengan media sosial yang notabenenya minim kepatuhan," kata dia.

Jika kondisi ini berlanjut, kata Untung, dikhawatirkan plaform e-commerce lokal akan kalah bersaing.

"Kalah bersaing karena kalah strategi, itu sudah menjadi risiko bisnis. Tapi kalau bersaing karena tidak adanya level playing field atau kesetaraan itu amat disayangkan. Padahal justrun platform lokal mendorong peningkatan ekonomi ketimbang platform media sosial yang dimiliki asing," pungkasnya.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya