Liputan6.com, Washington D.C. - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengirimkan ultimatum kepada Turki. Trump menegaskan akan menghancurkan Turki bila macam-macam dengan Kurdi.
Ancaman ini masih terkait dengan rencana mundurnya angkatan perang AS dari Timur Tengah. Langkah Trump tersebut sempat mendapat kritikan karena Kurdi menjadi rapuh terhadap kemungkinan serangan Turki, padahal Kurdi adalah sekutu AS.
Baca Juga
Advertisement
"Memulai penarikan mundur yang harusnya dimulai dari dulu di Suriah, di saat yang sama menyerang keras sisa wilayah kekhalifahan ISIS dan dari segala arah. Akan menyerang lagi dari markas eksisting terdekat bila mereka kembali berdiri. Akan menghancurkan Turki secara ekonomi bila mereka menyerang Kurdi. Menciptakan 20 mil zona aman..." ujar Trump dalam salah satu cuitannya.
Lebih lanjut, Trump juga mengingatkan Kurdi agar tidak memprovokasi Turki. Sejak zamannya kampanye, Trump memang tidak terlalu suka intervensi AS di wilayah Timur Tengah. Trump menyebut konflik di wilayah itu sebagai peperang tanpa akhir (endless wars) dan ingin hal itu berhenti.
Ancaman Trump datang ketika ekonomi Turki sedang bergejolak. Menurut laporan Bank Dunia, ekonomi Turki juga sedang menurun. Ekonomi negara itu terjun bebas dari 7,4 persen di 2017 menjadi 3,5 persen di 2018, dan diprediksi terperosok ke 1,6 persen tahun ini.
Sebagai informasi, Turki memiliki hubungan tidak akrab dengan pemerintahan Kurdi yang juga berbasis di tenggara Turki. Sementara, relasi Trump-Erdogan juga masih abu-abu.
Erdogan pernah berkunjung ke Gedung Putih pada tahun 2017. Sejauh ini, belum ada friksi di antara kedua pemimpin negara.
Presiden Turki Berjanji Usir Militan Kurdi dari Perbatasan Suriah
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berjanji pada Senin 17 Desember, bahwa pemerintahannya akan mengusir milisi Kurdi --yang dipandang sebagai teroris oleh Ankara-- dari wilayah perbatasan dengan Suriah, jika AS gagal memastikan kelompok pemberontak itu meninggalkan sisi timur Sungai Eufrat.
Ancaman itu muncul setelah Erdogan berbicara di telepon dengan Presiden AS Donald Trump pada Jumat 14 Desember, yang menyatakan bahwa keduanya setuju untuk memastikan "koordinasi lebih efektif" antara operasi militer mereka di Suriah.
Dikutip dari The Straits Times pada Selasa, 18 Desember 2018, pembicaraan di atas dilakukan menyusul ancaman oleh Erdogan pada pekan lalu, untuk melancarkan serangan terhadap milisi Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang didukung AS di sebelah timur Sungai Eufrat, dalam "beberapa hari ke depan".
Saya berbicara dengan Trump. Para teroris harus meninggalkan sebelah timur Eufrat. Jika mereka tidak pergi, kami akan mengusirnya," kata Erdogan saat berpidato di provinsi Konya di Turki tengah.
Turki memandang YPG sebagai "cabang teroris" dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang terlarang, di mana kerap melancarkan pemberontakan sejak 1984.
Meskipun Erdogan mengatakan bahwa Turki bisa memulai operasi militer "setiap saat", namun belakangan dia menunjukkan kesempatan untuk bernegosiasi dengan AS.
"Karena kami adalah mitra strategis dengan Amerika, maka kami harus melakukan apa yang diperlukan," kata Erdogan.
Namun dia menambahkan bahwa AS "harus memenuhi janji". Sayangnya, Erdogan tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang pernyataan terakhirnya tersebut.
Advertisement