Liputan6.com, Jakarta - Terpidana kasus suap terkait pengurusan dua sengketa perkara niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution menjadi saksi dalam sidang Eddy Sindoro. Pada keterangannya, Edy Membenarkan ada tawaran uang dari Eddy Sindoro, jika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL).
Pembenaran tersebut diamini Edy saat jaksa penuntut umum pada KPK membacakan berita acara pemeriksaan Edy Nasution.
Advertisement
Pada BAP tersebut, staf Eddy Sindoro bernama Wresti Kristian Hesti Susestyowati menemui Edy di kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat itu, Wresti menyampaikan maksud kedatangannya yakni meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan PK PT AAL yang telah melebihi batas waktu.
"Saat itu Wresti mengatakan tolong lah dibantu. Berapa? Nanti saya sampaikan ke atasan saya asal (permohonan) PK-nya diterima," ucap jaksa menirukan percakapan Wresti kepada Edy, Jakarta, Senin (14/1/2019).
"Iya benar sesuai BAP," jawab Edy.
Namun, saat disinggung lebih jauh mengenai adanya permintaan uang Rp 500 juta, Edy mengaku lupa. Edy acap kali hanya menjawab singkat ataupun mengaku lupa atas segala pertanyaan jaksa.
"Kemudian saudara saksi meminta Rp 500 juta ke Wresti?" tanya jaksa kasus Eddy Sindoro.
"Sudah saya jawab di BAP. Saya lupa," kata Edy.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dakwaan Eddy Sindoro
Sebelumnya, bekas petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro didakwa memberi suap Rp 150 juta dan USD 50 ribu kepada mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian suap terkait pengurusan dua perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dua perkara yang dimaksud adalah penundaan pelaksanaan Aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (AAL).
PT MTP saat itu sedang menghadapi sengketa dengan PT Kymco. Berdasarkan putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 01 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar USD 11,100,000. Namun PT MTP belum melaksanakan putusan tersebut.
Pada 24 Desember 2013 PT Kymco mendaftarkan Putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutuskan putusan SIAC bisa dilakukan di Indonesia.
PT MTP kemudian dipanggil aanmaning oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tak kunjung hadir dengan dalih ada pergantian kuasa hukum.
Sementara PT AAL berupaya melakukan upaya hukum yakni Peninjauan Kembali (PK) meski telah melewati batas waktu pendaftaran.
Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor:214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Sejak putusan diterbitkan, PT AAL tidak mengajukan PK sampai batas waktu 180 hari.
Atas perbuatan tersebut, Eddy didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka
Advertisement