Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara) meminta pemerintah untuk melindungi kelangsungan bisnis penerbangan di Tanah Air.
"Seperti yang kami sampaikan, bukan hanya kepada stakeholder tapi pada pemerintah. Bahwa pemerintah harus memproteksi maskapai nasional," kata dia saat ditemui di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, ditulis Rabu (16/1/2019).
Dia meminta pemerintah jangan mengobral slot rute penerbangan untuk maskapai asing. Sebab maskapai asing dapat membanting harga maskapai nasional.
Baca Juga
Advertisement
"Jangan terlalu gampang memberikan slot kepada maskapai asing untuk airport kita dan juga ke hub kita. Jangan juga menambah pemain di maskapai nasional, karena ini sudah 11 maskapai nasional sudah megap-megap semua, jangan ditambah lagi," ujarnya.
INACA juga meminta penyedia layanan infrastruktur penerbangan seperti Angkasa Pura, Airnav juga Pertamina selaku penyedia bahan bakar dapat menurunkan harga mereka. Hal itu bertujuan agar maskapai juga dapat menurunkan tarif pesawat tanpa harus merugi.
"Tetap kita minta, tetapi itu kewenangan dirut AP I dan II, Airnav dan Pertamina. Kami hanya meminta, kalau meminta enggak harus memaksa. Kalau yang AP I dan II serta Airnav kita meminta (turun) sekitar 30 persen, kalau Pertamina kita minta 10 persen," tutup Ari.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
INACA Buka-bukaan Soal Kondisi Maskapai Penerbangan Sulit Sejak 2016
Sebelumnya, mahalnya harga tiket pesawat rute domestik di akhir tahun menuai protes masyarakat. Tarif tiket pesawat domestik dinilai mahal bahkan bila dibandingkan dengan tarif pesawat rute internasional.
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara) mengatakan kondisi maskapai-maskapai di tanah air saat ini sedang tidak baik. Maskapai umumnya sedang diterpa masalah keuangan terutama sejak terjadinya pelemahan nilai tukar Rupiah.
BACA JUGA
Pria yang juga merupakan Direktur Utama Garuda Indonesia Airlines tersebut menyebutkan bisnis penerbangan memiliki beberapa variabel biaya pengeluaran yang sebagian besar dibayar dengan Dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara masyarakat yang membeli tiket menggunakan mata uang Rupiah. Pengeluaran maskapai sangat bergantung dengan volatilitas pasar.
"Semua masyarakat juga tahu pembayaran kami dari komponen biaya variabel. Semua komponen biaya dalam USD. Sedangkan dari kursnya sendiri berfluktuasi, harga komoditinya juga," kata Ari di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Dalam hal avtur BBM sendiri, ada peningkatan harga yang signifikan. Sementara BBM merupakan komponen terbesar untuk biaya operasi maskapai, yaitu sekitar 40-45 persen.
"Kami catat dari INACA dari April 2016 sampai Desember 2018 harga terendah dan tertinggi untuk avtur itu sebesar 171 persen, kursnya 17 persen dan average kita 8 persen. Jadi kita punya struktur cost yang kompetitif. Kalau kontribusi paling besar memang dari fuel. Kontribusinya 40-45 persen," ujar dia.
Lalu ada komponen pembayaran leasing untuk sewa pesawat 20 persen. Perusahaan leasing ini lebih didominasi Eropa dan AS. Imbasnya, perbaikan atau maintenance dikuasai kedua perusahaan tersebut karena tipe pesawat di dominasi oleh Boeing dan Airbus.
"Jadi kami sangat tergantung pada fluktuasi dan license dari Airbus dan Boeing. 10 persennya biaya pegawai yang perlu makan. Dari Garuda sendiri 10 ribu karyawan, Citilink 2.000 , Sriwijaya 4.500. Jadi ini masyarakat yang perlu kami biayai dan masuk dalam komponen cost kita," ungkapnya.
Dari semua komponen pengeluaran tersebut, Ari menyebutkan margin keuntungan yang didapat maksimal hanya 3 persen saja. Itupun jika tarif tiket pesawat yang diterapkan mendekati tarif batas atas.
"3 persen itu sudah paling bagus dengan harga selangit (tiketnya). Sementara kemarin ketika Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas. Sedangkan LCC hanya 60-70 persen dari batas atas," ungkap dia.
Ari mengaku kaget saat tarif pesawat bisa menjadi isu nasional. "Kondisi saya ini enggak mengerti kenapa jadi isu nasional sehingga sebelum kami akan menurunkan harga tiket pun pada tanggal 14 Januari dari high season jadi low season itu sudah dijadikan isu nasional dan sebelum itu kami sudah menurunkan," tegas dia.
Dia juga mengaku telah banyak dicecar pertanyaan tentang kapan tarif pesawat akan turun. Adapunemungkinan pengurangan tarif rata-rata yang bisa dilakukan oleh maskapai adalah 30 persen. Perhitungan ini sudah sesuai dengan batas terendah agar maskapai tidak rugi. "Itu batas kemampuan mereka. Itu batas yang mereka bisa kompensasikan supaya tidak rugi."
Kondisi itu memaksa maskapai untuk berinovasi mencari sumber pendapatan lain agar tidak rugi. Sebab pendapatan dari penjualan tiket tidak mampu menutup pengeluaran. "Lion Air dari baggage, Garuda dari kargo. Dari harga tiket sendiri, kita sudah kelelep," ujarnya.
Kondisi ini juga diperparah oleh keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif batas atas pesawat sejak tahun 2016 dengan pertimbangan daya beli masayrakat. Padahal, moda tranportasi lain seperti bus dan kereta api tarifnya sudah naik berkali-kali.
"Kami mengerti pemerintah tidak bisa menaikkan dari 2016 karena melihat daya beli masyarakat, oleh karena itu kami tidak pernah demo untuk menaikkan harga," ujarnya.
Selain itu, maskapai juga masih memiliki pengeluaran layanan infrastruktur seperti untuk pengelola bandara yaitu Angkasa Pura dan Airnav selaku pengatur lalu lintas udara.
Advertisement