Cerita Masjid Tertua di Lampung Bertahan dari Letusan Dahsyat Gunung Krakatau

Berdiri sejak 1839, masjid tertua di Lampung yang bertahan dari letusan dahsyat Gunung Krakatau ini didirikan oleh para pelaut Bugis.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jan 2019, 17:00 WIB
Masjid Jami Al Anwar Lampung bertahan selama ratusan tahun meski pernah terdampak letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883. (dok. Instagram @13.mekhanai/https://www.instagram.com/p/BNRrg1Xgi3N/Dinny Mutiah)

Jakarta - Masjid Jami Al-Anwar dikenal sebagai masjid tertua di Provinsi Lampung dan masih bertahan sampai sekarang. Masjid ini menjadi saksi bisu letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883, meski saat itu sempat rusak dan sudah direnovasi beberapa kali.

Menurut catatan di sejumlah sumber, setidaknya masjid ini sudah ada sejak 1839 atau sudah berfungsi sejak sekitar 180 tahun lalu walaupun semula hanya berupa surau atau langgar kecil.

Masjik ini terletak di Jalan Laksamana Malahayati Nomor 100 Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung. Lokasinya sedikit ke pinggir dari pusat bisnis di kawasan Telukbetung, Bandar Lampung, tak jauh dari pusat belanja oleh-oleh kuliner khas Lampung di seberangnya.

Masjid ini juga memiliki banyak peninggalan bersejarah yang masih ada sampai sekarang. Pemerintah Provinsi Lampung melalui Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung bahkan menetapkan masjid ini sebagai masjid tertua dan bersejarah di Bandar Lampung yang tertuang di dalam SK Nomor: Wh/2/SK/147/1997.

Menurut penuturan Sumanta (51), salah satu pengurus Masjid Jami Al-Anwar, sejak enam tahun yang lalu, masjid ini tertua di Provinsi Lampung, bahkan berdiri sebelum Gunung Krakatau meletus, 26-27 Agustus 1883.

"Gunung Krakatau kan meletusnya tahun 1883, masjid ini sudah ada sejak tahun 1839, tetapi menurut informasi saat itu masih berbentuk surau," ujar Sumanta, saat ditemui di Masjid Jami Al-Anwar, belum lama ini, dilansir Antara.

Catatan sejarah, masjid ini dibangun oleh ulama pendatang yang berasal dari Pulau Sulawesi dari Suku Bugis. Saat masih berbentuk surau, masjid ini digunakan oleh para ulama tersebut untuk perkumpulan mengaji, bersama dengan ulama dan masyarakat setempat lainnya.

"Awalnya dibangun oleh para ulama dari Pulau Sulawesi yang kemudian datang ke Lampung, yaitu Daeng Muhammad Ali, K.H. Muhammad Said, dan H. Ismail. Setelahnya, mereka mendirikan surau untuk mengaji bersama ulama dan siapa pun masyarakat yang ingin mengaji bersama," ujarnya.


Renovasi Beberapa Kali

Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Surau kemudian mengalami beberapa renovasi dan perluasan bangunan sehingga membentuk masjid. Renovasi awal dilakukan lima tahun setelah Gunung Krakatau meletus.

Sekitar 1888, para ulama bersama masyarakat langsung mendirikan masjid yang lebih permanen pada tahun itu, lalu dilanjutkan renovasi, termasuk yang dilakukan pada 1972, dan terakhir pada 2015.

"Untuk renovasinya, saat Gunung Krakatau meletus, musalanya rusak hanya menyisakan tiang-tiangnya. Jadi pada tahun 1888, menurut informasi, renovasi dilakukan dengan tetap mempertahankan enam tiang yang ada. Enam tiang tersebut menggambarkan Rukun Iman," ucapnya.

Pada 1972, masjid direnovasi kembali dengan memperluas bangunan menjadi lebih besar karena jamaah yang datang saat Salat Jumat dan hari-hari besar semakin banyak jumlahnya.

Terakhir, perbaikan dan renovasi masjid ini dilakukan sekitar 2015 sampai 2016. Yang diganti hanya atap masjid, awalnya genting biasa menjadi seng baja.

Dalam buku berjudul "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" karya Abdul Baqir Zein pada 1999, keenam tiang masjid yang dibangun pada 1888 dibuat bukan menggunakan semen, melainkan campuran telur ayam dan kapur.

Setelah itu, masjid tersebut dinamakan Masjid Al-Anwar yang artinya bercahaya. Nama tersebut diharapkan masjid tersebut dapat menjadi sumber cahaya kehidupan yang dapat menerangi umat dan dipakai sampai sekarang.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya