Abu Bakar Baasyir Dibebaskan, Politis atau Humanis?

Pemerintah akan membebaskan tahanan terorisme Abu Bakar Baasyir dalam waktu dekat ini.

oleh Putu Merta Surya PutraMuhammad Radityo PriyasmoroRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 21 Jan 2019, 00:03 WIB
Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir melambaikan tangan kepada media setelah sidang di Jakarta, (25/05/2011). (AFP Photo/Adek Berry)

Liputan6.com, Jakarta - Terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir segera menghirup udara bebas. Negara memberikan bebas murni kepada sosok yang dihukum 15 tahun penjara tersebut.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza mewakili Presiden Jokowi menemui langsung Abu Bakar Baasyir di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat 18 Januari 2019 siang.

Yusril datang untuk meyakinkan Presiden Jokowi bahwa dirinya mampu membujuk amir (pemimpin) Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini bebas.

"Memang pada waktu itu ada niatan dari Pak Presiden untuk membebaskan Beliau. Sudah saatnya Beliau dibebaskan," terang Yusril, Jumat.

Jokowi berpendapat bahwa Baasyir harus dibebaskan karena pertimbangan kemanusiaan. Karena itu, Jokowi meminta Yusril untuk menelaah, berdialog dan bertemu Abu Bakar Baasyir di Lapas Gunung Sindur.

"Seminggu lalu saya sempat menemui Beliau. Semua pembicaraan dengan Beliau, saya laporkan ke Pak Jokowi," kata dia.

Berdasarkan keinginan Jokowi, lanjut Yusril, Baasyir dibebaskan tanpa syarat. Hal ini mengingat kondisinya sudah lanjut usia.

"Dan ini bukan mengalihkan Beliau jadi tahanan rumah, kami jelaskan Pak Baasyir ini betul-betul pembebasan yang diberikan kepada Beliau," kata dia.

Terkait pembebasan ini, tambah Yusril, Baasyir sudah menyetujuinya dan ingin kembali ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah. Namun, Baasyir meminta waktu karena harus mengemas barang-barangnya.

"Jadi, Beliau menerima semua dan akan tinggal di rumah anaknya Pak Abdul Rochim. Tapi Beliau minta waktu 2-3 hari untuk mengemas barang-barangnya," kata dia.

Ustaz Abu Bakar Baasyir sendiri mengaku bersyukur dan berterima kasih kepada semua pihak yang sudah berupaya membebaskannya dari hukuman penjara.

"Saya kenal sejak lama dengan Pak Yusril. Beliau ini orang berani, sehingga banyak yang memusuhinya. Tetapi saya tahu, Beliau menempuh jalan yang benar," ujar Baasyir.

Sementara itu, Anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendra Datta mengatakan, Abu Bakar Baasyir akan bebas pada pekan depan. Perkiraan waktu itu disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra, sebagai utusan Presiden Jokowi, kepada TPM.

"Insyaallah menurut janji Yusril atau Presiden, dalam waktu minggu depan. Caranya belum disampaikan, berbagai cara wewenang pemerintah," kata Mahendra di kantornya, Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu, 19 Januari 2019.

Menurut dia, Abu Bakar Baasyir bisa kembali menghirup udara bebas berkat perjuangan panjang. Sejak tiga tahun lalu, Mahendra dan tim kerap bersurat kepada Menhan Ryamizard.

"Kami tiga tahun lalu sudah berkirim surat, ditanggapi Menhan Ryamizard bahwa dia mendukung pembebasan Baasyir," ujar Mahendra.

Perjalanan Kasus

Abu Bakar Baasyir ditangkap pada 2010 silam di Banjar, Jawa Barat, saat dalam perjalanan dari Tasikmalaya ke Solo. Saat itu, dia dituding terlibat dalam perencanaan pelatihan paramiliter di Aceh. Juga pendanaannya.

Sebanyak 32 pengacara yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) berbondong-bondong mengajukan diri membelanya.

Pada Kamis 10 Februari 2011, Abu Bakar Baasyir menghadapi sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) itu didakwa dengan tujuh pasal berlapis yang tertuang dalam berkas setebal 93 halaman.

Senin 9 Mei 2011, jaksa menuntut Abu Bakar Baasyir dengan hukuman seumur hidup.

Namun, pada Kamis 16 Juni 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya 15 tahun penjara.

Kala itu, majelis hakim menilai Amir Jamaah Anshorud Tauhid atau JAT itu terbukti merencanakan atau menggerakkan pelatihan militer bersama Dulmatin alias Yahyah Ibrahim alias Joko Pitono.

Vonis dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Herri Swantoro yang didampingi empat hakim anggota, yakni Aksir, Sudarwin, Haminal Umam, dan Ari Juwantoro.

"Menjatuhkan pidana dengan penjara selama 15 tahun. Menetapkan masa penahanan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan," ujar Herri.

Saat sidang, Baasyir sudah ditahan selama 10 bulan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri. Vonis yang dijatuhkan rupanya lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum, penjara seumur hidup.

Hakim menjelaskan, dalam pertimbangannya tidak sependapat dengan tuntutan jaksa bahwa Abu Bakar Baasyir juga mengumpulkan dana untuk pelatihan militer di Aceh sesuai dakwaan lebih subsider.


Isu Politis

Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir dikawal aparat kepolisian meninggalkan Mabes Polri untuk menjalani operasi katarak di Jakarta, (29/02/2012). (AFP Photo/Adek Berry)

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, menilai rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir berbau politis lantaran dilakukan menjelang pemilu.

"Publik pasti bisa menilai pasti ada kaitan dengan politik," katanya di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 19 Januari 2019.

Menurut Dahnil, umat Islam Indonesia pasti paham maksud pembebasan Baasyir itu. "Bagi umat Islam pasti paham bahwasanya selama ini stigma teroris itu Islam. Tiba-tiba jelang pemilu berbaik-baik," ujarnya.

Meski demikian, ia bersyukur Abu Bakar Baasyir dibebaskan dengan alasan kemanusiaan.

"Pertama kami bersyukur Ustaz Baasyir bebas, kedua memang sudah waktunya bebas, tahun lalu Desember menolak bebas karena bersyarat. Kalau orang Jawa bilang wis wayahnya," katanya.

Presiden Jokowi sendiri menegaskan pembebasan Abu Bakar Baasyir atas dasar pertimbangan kemanusiaan.

"Yang pertama memang alasan kemanusiaan. Artinya Beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan," kata Jokowi usai meninjau Rusun Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah di Desa Nglampangsari, Cilawu, Garut, Jumat, 18 Januari 2019.

Jokowi juga membenarkan bahwa kondisi kesehatan Baasyir yang menurun menjadi pertimbangan utama. Meski begitu, ia menegaskan ada banyak pertimbangan lain yang diperhatikan.

"Iya, termasuk kondisi kesehatan, masuk dalam pertimbangan itu. Ini pertimbangan yang panjang. Pertimbangan dari sisi keamanan dengan Kapolri, dengan pakar, terakhir dengan Pak Yusril. Tapi prosesnya nanti dengan Kapolri," ujar Jokowi seperti dikutip Antara.

Jokowi mengatakan, keputusan untuk membebaskan Baasyir tidak muncul tiba-tiba atau melalui pertimbangan yang singkat.

"Sudah pertimbangan lama. Sudah sejak awal tahun yang lalu. Pertimbangan lama Kapolri, kita, Menkopolhukam, dan dengan pakar-pakar. Terakhir dengan Pak Prof Yusril Ihza Mahendra," jelas Jokowi.

Sanggahan juga dilontarkan Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendra Data. Dia menegaskan tak ada unsur politis dalam pembebasan pria berusia 81 tahun tersebut. Dia  mengatakan, lobi-lobi untuk membebaskan Abu Bakar Baasyir sudah dilakukan selama tiga tahun terakhir.

"Ini masalah hukum, bukan politik, apalagi gift. Kami tiga tahun lalu sudah berkirim surat, ditanggapi Menhan Ryamizard bahwa dia mendukung pembebasan Baasyir. Bahkan, membuat surat resmi atas nama Menteri Pertahanan ke Presiden RI," katanya.

Pembebasan Baasyir, ucap dia, berlandaskan preseden hukum Undang-Undang Pemasyarakatan yang jelas. Pada UU itu disebutkan, bilamana napi sakit yang membahayakan, dikhawatirkan merenggut jiwa, lebih baik dibantarkan karena harus berobat.

"Berdasarkan alasan bisa diterima menurut hukum, antara lain usia lanjut dan Ustaz Baasyir adalah tahanan tertua di Indonesia (usia 81 tahun) dan menyandang penyakit, cukup membuat Beliau dirawat dengan baik di rumah sakit," jelas Mahendra.

 


Setia Pancasila

Kondisi Abu Bakar Baasyir ketika berada di RSCM, Kamis 1 Maret 2018. (Istimewa)

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyarankan Abu Bakar Baasyir untuk taat dan setia kepada Pancasila dan NKRI. Menurut dia, sebagai warga negara Indonesia (WNI), tanpa terkecuali harus bersumpah setia kepada Pancasila dan NKRI.

"Karena itulah, sekali lagi PDIP dengan sangat merekomendasikan bahwa ketaatan terhadap, Pancasila dan NKRI itu bersifat wajib dan tidak bisa ditawar-tawar," ujar Hasto di DPC PDIP Jakarta Timur, Minggu, 20 Januari 2019.

Hasto menegaskan, pandangan PDIP kokoh dalam konstitusi untuk setia kepada Pancasila dan NKRI. Maka itu, mereka berpendapat jika yang tidak bisa berkomitmen, bisa dipersilakan keluar dari Indonesia.

"Sekiranya tidak mau punya komitmen yang kuat terhadap NKRI sebagai kewajiban warga negara, ya dipersilakan untuk jadi warga negara lain," kata Hasto.

Kendati demikian, dia tetap memahami mengapa Jokowi mengambil kebijakan membebaskan Abu Bakar Baasyir, yaitu demi kemanusiaan. Hasto membantah kebijakan itu bernuansa politisasi dan demi elektoral.

"Kami tidak berbicara elektoral, kami berbicara tentang kemanusiaan," ucapnya.

Di bagian lain, Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar menyatakan, persyaratan pembebasan Abu Bakar Baasyir dengan meminta untuk menandatangani surat pernyataan setia pada Pancasila dan NKRI, tidak berbeda dengan praktik pemaksaan terhadap kelompok minoritas di sejumlah daerah.

"Pancasila itu bukan dalam bentuk naskah kayak kuitansi, karena surat-surat model kepada Pancasila, kembali kepada NKRI, ke jalan yang benar, itu juga justru yang dipakai ketika Anda maksa-maksa kelompok minoritas di berbagai tempat untuk dianggap dalam tanda kutip, sadar. Sering kan?" tutur Haris di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 20 Januari 2019.

Haris mencontohkan seperti praktik kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang menggerebek aliran Ahmadiyah. Termasuk juga pemotongan nisan salib yang diakhiri dengan tanda tangan dalam secarik surat kesepakatan di Kotagede, Yogyakarta.

"Yang kayak gitu-gitu menurut saya, yang namanya keyakinan, visualnya tidak bisa lewat seperti itu," jelas dia.

Menurut Haris, Abu Bakar Baasyir sendiri sebelum menerima grasi pun memiliki sikap yang pancasilais. Persyaratan tanda tangan itu menjadi tidak masuk akal.

Kemudian kalau memang untuk kemanusiaan, prosedur tanda tangan itu menjadi cacat secara prosedural. Seharusnya alasan itu membuat Abu Bakar Baasyir dipermudah dalam proses pembebasannya.

"Jadi kalau mengukur Pancasila itu, ukur dari ekspresi-ekspresi lain. Bukan dalam bentuk surat. Nggak kurang-kurang kalau tanda tangan setia, disumpah di depan presiden, disumpah pakai alquran, kelakuannya korupsi semua (pejabat)," Haris menandaskan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya