Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi China Tekan Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.205 per dolar AS hingga 14.215 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 21 Jan 2019, 11:42 WIB
Petugas menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Rupiah dibuka di angka 13.355 per dolar AS, melemah tipis dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.341 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di awal pekan ini. Perlambatan pertumbuhan ekonomi China menjadi salah satu alasan pelemahan rupiah.

Mengutip Bloomberg, Senin (21/1/2019), rupiah dibuka di angka 14.212 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.178 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.205 per dolar AS hingga 14.215 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 1,22 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.212 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sebelumnya yang ada di angka 14.182 per dolar AS.

Dolar AS memang menguat diantara beberapa mata uang dunia dan juga terhadap rupiah. Penyebab penguatan dolar AS adalah data terbaru pertumbuhan ekonomi China yang melambat sehingga investor berbondong mengoleksi dolar AS.

"Dolar AS berada dalam jalur pemulihan setelah sebelumnya sempat terjebat dalam pelemahan yang dalam," kata Junichi Ishikawa, analis senior valuta asing IG Securities, Tokyo, Jepang.

Ia melanjutkan, investor melihat bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi China memiliki risiko yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Dengan begitu, investor pun lebih memilih mengoleksi dolar AS dulu.

Sedangkan Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta mengatakan, pergerakan rupiah pada Senin ini masih akan banyak dipengaruhi sejumlah sentimen eksternal.

"Data makro di China mengalami penurun di pertumbuhan ekonomi, turun dari 6,5 persen menjadi 6,4 persen. Tingkat pengangguran juga meningkat menjadi 4,9 persen. Jadi wajar, kemungkinan ini secara tidak langsung mempengaruhi kinerja Yuan dan di sisi lain dolar juga menguat," ujar Nafan dikutip dari Antara.

Selain itu, sentimen eksternal lainnya yaitu terkait Brexit. Perdana Menteri Inggris Theresa May menghadapi kekalahan di depan Parlemen Inggris yang menolak draf Brexitnya.

Kendati demikian, May masih bisa mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri ditengah serangan "no confidence vote" dari partai oposisi, Jeremy Corbyn. Hal ini dinilai positif oleh pasar dengan catatan bahwa hal terburuk, yaitu "no-deal Brexit" bisa terelakkan.

Theresa May sendiri akan kembali berpidato di depan parlemen Inggris menyampaikan perkembangan rencana Brexit tersebut.

"Para pelaku pasar global akan menantikan pidato Theresa May. Itu yang akan memengaruhi GBP. Kalau GBP menguat, rupiah juga akan menguat, tapi jika melemah ya akan membuat rupiah juga melemah," ujar Nafan.

Sementara itu, dari sisi domestik sendiri, masih minim sentimen positif. Ia memprediksi rupiah hari ini akan berada di kisaran Rp14.155 per dolar AS hingga Rp14.255 per dolar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


BI: Rupiah Berada dalam Tren Penguatan

Teller menunjukkan uang dolar dan rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan tren penguatan Rupiah tersebut dakan mendukung stabilitas harga di dalam negeri.

"Nilai tukar Rupiah dalam tren menguat sehingga mendukung stabilitas harga. Rupiah pada Desember 2018 secara rerata menguat sebesar 1,16 persen, meskipun secara point to pointsedikit melemah sebesar 0,54 persen," kata Perry di kantornya, Kamis (17/1/2019).

Dia mengungkapkan penguatan Rupiah antara lain dipengaruhi aliran masuk modal asing akibat perekonomian domestik yang kondusif dan imbal hasil domestik yang tetap menarik, serta ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit mereda.

"Dengan perkembangan yang cenderung menguat menjelang akhir tahun 2018, Rupiah secara rerata keseluruhan tahun 2018 tercatat mengalami depresiasi sebesar 6,05 persen, atau secara point to point sebesar 5,65 persen dibandingkan dengan level tahun sebelumnya," ujarnya.

Sementara itu, depresiasi atau pemelahan Rupiah secara point to point tersebut lebih rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara lain seperti Rupee India, Rand Afrika Selatan, Real Brasil, dan Lira Turki.

"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong berjalannya mekanisme pasar, dan mendukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya