Ekonomi China Melambat, RI Perlu Bangun Sektor Manufaktur

Indonesia sebaiknya jangan tertinggal dengan tren ekonomi dunia.

oleh Bawono Yadika diperbarui 21 Jan 2019, 14:00 WIB
Pelepasan ekspor Indonesia ke AS menggunakan kapal besar (Direct Call) pembawa kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5). Total volume barang yang diekspor mencapai 4.300 TEUs (Twenty Foot Equivalent Units). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi China yang tengah melambat di tahun ini membuat Indonesia perlu mengantipasi langkah-langkah khusus untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.

Head of Mandiri Institute Moekti Soejachmoen menjelaskan, di tengah tren pelambatan ekonomi China, Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan industri manufaktur.

"Dulu China lebih banyak impor bahan baku, sekarang mereka sudah mengubah pola ekonomi dari yang produksi dan konsumsi maka impor mereka akan lebih banyak ke barang-barang konsumsi," ujarnya di Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Senin (21/1/2019).

"Yang perlu Indonesia mulai fokus ke sektor manufaktur atau memproduksi barang-barang yang diminati oleh ekonomi china yaitu lebih ke barang-barang konsumsi," lanjut dia. 

Dia menjelaskan, Indonesia sebaiknya jangan tertinggal dengan tren ekonomi dunia. Oleh sebab itu, ia menekankan, pentingnya untuk Indonesia fokus membangun sektor manufaktur dalam negeri di tahun ini.

"Nah jangan sampai kita ketinggalan lagi. Indonesia sering kali ketinggalan dari tren dunia. Kita harus lebih fokus ke manufakturing terutama untuk meng-adjust harga komoditas yang turun," imbuhnya.


Imbas Perang Dagang, Ekonomi China Tumbuh Terendah dalam 28 Tahun

Ilustrasi bendera Republik Rakyat China (AP/Mark Schiefelbein)

Pertumbuhan ekonomi China kena dampak melemahnya investasi dan goyahnya kepercayaan konsumen akibat perang dagang. Pertumbuhan 2018 pun menjadi terendah dalam 28 tahun.

Perlambatan ekonomi di China turut menambah kekhawatiran pada ekonomi dunia, dan dampaknya pada perusahaan seperti Apple dan pembuat mobil.

Dikutip Reuters, Senin (21/1/2019), berdasarkan data Badan Statistik Nasional di Tiongkok, pertumbuhan GDP kuartal keempat China tahun lalu menjadi paling lambat sejak krisis keuangan global. Bila dibanding kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi turun 6,4 persen dari 6,5 persen. 

Alhasil, pertumbuhan setahun penuh China adalah 6,6 persen, atau terendah sejak 1990. Angka ini juga sesuai ekspektasi analis Reuters.

Pelambatan ini menjadi pertanda naiknya angka pengangguran dan meningkatnya kebutuhan stimulus ekonomi.

Nikkei Asian Review melaporkan, Beijing telah memberi insentif senilai 850 miliar yuan atau Rp 1.780 triliun (1 yuan = Rp 2.094). Proyek yang terutama mendapat fokus adalah China Railway.

Sementara, Komisi Pembangungan Nasional dan Reformasi mengungkapkan pemerintah China bertujuan memberi bermacam stimulus untuk memperkuat konsumsi. Di antara yang mendapatkannya adalah industri otomotif yang merupakan 10 persen dari GDP, serta peralatan rumahan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya