23-1-2015: Raja Salman Naik Takhta Setelah Kematian Kakak Tirinya

Raja Salman dinobatkan pada 23 Januari 2015, di usia 79 tahun. Drama suksesi kerajaan Arab Saudi terjadi pada masa pemerintahannya.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 23 Jan 2019, 06:00 WIB
Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud. (Saudi Press Agency, via AP)

Liputan6.com, Riyadh - Hari itu, 23 Januari 2015, kabar duka diumumkan pihak Kerajaan Arab Saudi. Sang raja, Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia setelah beberapa pekan menjalani perawatan di rumah sakit.

Raja Abdullah adalah yang ke-13 dari 45 putra Raja Abdulaziz. Ia diyakini lahir pada Agustus 1924 di Riyadh, meski ada sejumlah perselisihan soal hari lahirnya itu.

Abdullah, yang memerintah sejak 2015 dan dilaporkan berusia 90 tahun, menderita infeksi paru-paru. Pada hari yang sama, takhta kemudian berpindah ke adik tirinya, Salman bin Abdulaziz (79). Raja Salman menjadi raja ketujuh di kerajaan Arab Saudi.

Dalam beberapa jam setelah mewarisi takhta kerjaan kaya minyak itu, Raja Salman berjanji untuk mempertahankan kebijakan para pendahulunya.

"Kami akan terus berpegang pada kebijakan yang tepat, yang telah diberlakukan sejak Arab Saudi didirikan," kata dia dalam pidato yang disiarkan di televisi pemerintah, sebelum pemakaman Raja Abdulah, seperti dikutip dari BBC News.

"Negara-negara Arab dan Islam sangat membutuhkan solidaritas dan kohesi," tambah dia. Salman menggunakan ungkapan "jalan lurus" -- istilah yang diambil langsung dari Alquran.

Dalam pernyataan resminya, pihak kerajaan menyebut, Pangeran Muqrin, yang usianya 60-an akhir juga ditetapkan sebagai putra mahkota.

Abdullah, Salman, dan Mukrin adalah putra putra Arab Saudi modern, Raja Abdulaziz, yang biasa disebut sebagai Ibn Saud, yang wafat pada tahun 1953.

Raja Salman meminta Dewan Kesetiaan keluarga kerajaan untuk mengakui Muqrin sebagai pewaris tahktanya. Dengan cepat ia juga menunjuk Menteri Dalam Negeri Pangeran Mohammed bin Nayef sebagai deputi putra mahkota -- menjadikannya nomor dua di garis takhta.

Ia juga menunjuk putranya sendiri, Mohammed bin Salman, sebagai menteri pertahanan.

Mohammed bin Salman lahir pada tahun 1980-an -- membuatnya hampir seperti 'bayi' dalam sebuah sistem yang didominasi oleh para pria yang berusia di akhir 70-an dan 80-an.

Para menteri lainnya, termasuk menteri luar negeri, minyak, dan keuangan tetap menjabat di posisinya.

Salman bin Abdulaziz al Saud pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Riyadh selama 48 tahun sebelum menjadi putra mahkota sekaligus menteri pertahanan, menggantikan posisi saudaranya Putra Mahkota Sultan.

Menjadi raja pada usia 79 tahun, Salman dikabarkan dalam kondisi kesehatan yang jauh dari prima. Ia bahkan perlu bantuan tongkat untuk berjalan.

Sejumlah permasalahan menjadi tantangan utama bagi Raja Salman. Misalnya, kekerasan di negara tetangga Yaman, pasar minyak yang bergolak dan ancaman ISIS. Sementara itu, di dalam negeri, ada generasi muda yang haus akan pekerjaan, kaum liberal yang menuntut kebebasan, juga sorotan soal hak asasi manusia dan terkait keluarga kerajaan yang dikritik sebagai disfungsional dan korup.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:


Drama Suksesi

Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman mengunjungi Perdana Menteri Inggris Theresa May di 10 Downing Street, London, Rabu (7/3). Kunjungan ini dirancang untuk meningkatkan hubungan keamanan dan perdagangan kedua negara. (AP/Alastair Grant)

Sekitar tiga bulan setelah suksesi, Raja Salman menyingkirkan adik tirinya, Pangeran Muqrin dari posisi putra mahkota. Ia juga mengangkat keponakannya, deputi putra mahkota Mohammed bin Nayef sebagai pewaris takhta.

Raja Salman juga mengangkat putranya, Mohammed bin Salman sebagai deputi putra mahkota.

Seperti dikutip dari nbcnews.com, dalam Dalam sebuah dekrit yang diterbitkan oleh media pemerintah, Raja Salman mengatakan dia mengikuti jejak almarhum abangnya, Raja Abdullah bin Abdulaziz, dalam mencari kandidat yang paling cocok untuk duduk di posisi tertinggi negara kaya minyak itu.

Dan, pada 21 Juni 2017, Mohammed bin Salman ditunjuk ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Ia menyingkirkan sepupunya sendiri, Pangeran Mohammed bin Nayef yang berusia jauh lebih matang, 57 tahun.

Pangeran yang lahir pada 31 Agustus 1985 itu merupakan putra tertua dari istri ketiga Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud, Fahdah binti Falah bin Sultan.

Pengangkatannya penuh kontroversi. Pada usia 32 tahun ia melompati 36 pangeran lain yang dianggap mampu memerintah Arab Saudi.

Dalam sistem suksesi Arab Saudi, kekuasaan diberikan secara bergiliran antara anak-anak dan keturunan pendiri kerajaan, Raja Abdulaziz atau Ibn Saud sejak kematiannya pada 1953.

Itu mengapa, pemilihan raja Arab Saudi dilakukan dengan mengedepankan primus inter pares alias musyawarah daripada monarki absolut.

Ada yang menyebut bahwa Pangeran Mohammed dipilih sang raja karena ia dianggap sebagai putra favorit ketimbang keponakannya, bin Nayef.

Sebagian yang lain menduga bahwa pemilihan Pangeran Mohammed sebagai putra mahkota dilakukan atas penilaian yang objektif. Kata mereka yang pro, Arab Saudi butuh darah segar untuk perubahan.

Media Barat menggambarkan sosok Mohammed bin Salman sebagai 'reformis'. Ia akhirnya mengizinkan perempuan mengemudikan mobil di Arab Saudi, mendiversifikasi perekonomi negara di sektor non-minyak dengan proyek raksasa Vision 2030.

Fakta bahwa ia mengobarkan perang di Yaman yang memicu krisis kemanusiaan di negara itu seakan diabaikan. Pun ketika menciduk 11 pangeran, empat menteri yang masih menjabat, dan belasan eks anggota kabinet dengan dalih pemberantasan korupsi pada 2017 lalu.

Namun, kasus pembunuhan Jamal Khashoggi bisa jadi mengakhiri 'bulan madu' sang pangeran dengan pihak Barat.

Selain penobatan Raja Salman, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada 23 Januari.

Pada 23 Januari 1556, atau sekitar 461 tahun silam, terjadi bencana gempa bumi paling mematikan sepanjang sejarah dunia. Malapetaka itu menghantam kawasan Provinsi Shaanxi, China, yang mengakibatkan sekitar 830 ribu orang tewas.

Sementara, pada 23 Januari 1950 terjadi peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung, Jawa Barat yang dipimpin mantan komandan DST (Pasukan Khusus) KNIL, Raymond Westerling.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya