Liputan6.com, Caracas - Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan, dia telah memerintahkan untuk melakukan revisi hubungan diplomatik Venezuela dengan Amerika Serikat, menuduh Washington berusaha memaksakan kudeta setelah Wakil Presiden AS Mike Pence berusaha keras untuk menyingkirkan Maduro dari kekuasaan.
Maduro mengatakan pada Selasa 22 Januari 2019 bahwa ia akan mengumumkan langkah-langkah baru dalam beberapa jam ke depan, dalam komentar yang muncul tak lama setelah Pence menyatakan dukungan untuk para pemrotes dan para pemimpin oposisi sebelum demonstrasi anti-pemerintah meluas yang direncanakan pada Rabu 23 Januari 2019, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (23/1/2019).
Sebelumnya, Pence menyampaikan pesan kepada Venezuela yang mengutuk pemimpin "diktator" mereka Presiden Nicolas Maduro dan menyatakan dukungan resmi AS kepada badan legislatif 'Majelis Nasional' yang dipimpin oposisi Juan Guaido.
"Atas nama Presiden Donald Trump dan semua orang Amerika, izinkan saya menyatakan dukungan tak tergoyahkan dari Amerika Serikat ketika Anda, rakyat Venezuela, tengah mengangkat suara dalam seruan untuk kebebasan," kata Pence dalam pesan rekaman video.
Baca Juga
Advertisement
"Nicolas Maduro adalah seorang diktator tanpa klaim sah atas kekuasaan. Dia tidak pernah memenangkan kursi kepresidenan dalam pemilihan yang bebas dan adil, dan telah mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan dengan memenjarakan siapa pun yang berani menentangnya," lanjut Pence.
Menanggapi komentar Pence, Maduro mengatakan pada konferensi pers: "Belum pernah seorang pejabat tinggi mengatakan bahwa oposisi harus menggulingkan pemerintah."
Oposisi Venezuela pada Rabu 23 Januari berencana untuk mengadakan demonstrasi anti-Maduro di seluruh wilayah sebagai bagian dari acara tahunan yang menandai jatuhnya pemerintah militer pada tahun 1958. Pendukung pemerintah juga diharapkan turun ke jalan guna melakukan demonstrasi tandingan.
Maduro dilantik pada 10 Januari untuk masa jabatan kedua selama enam tahun yang kontroversial setelah pemilihan umum yang sebagian besar diboikot oleh oposisi dan dianggap curang oleh banyak orang dalam komunitas internasional.
Pekan lalu, Majelis Nasional, badan legislatif yang dipimpin dan dikendalikan oleh tokoh oposisi Juan Guaido, menyatakan Maduro sebagai "perampas kekuasaan" dan memutuskan untuk mendorong pembentukan pemerintah transisi.
Guaido mengatakan dia akan siap untuk mengambil alih sebagai presiden dan mengadakan pemilihan umum yang adil jika Venezuela dan angkatan bersenjata mendukungnya. Dia juga menyerukan protes oposisi.
Pada Senin 21 Januari 2019, Mahkamah Agung Venezuela menolak Guaido sebagai presiden Majelis Nasional, yang dibuat tidak berdaya oleh pengadilan tinggi setelah Partai Sosialis yang berkuasa di Maduro kehilangan kendali pada tahun 2016.
Dalam pesan videonya, Pence menyatakan dukungan Washington lagi untuk Guaido --di mana ia berbicara melalui telepon awal bulan ini-- dan Majelis Nasional sebagai "sisa terakhir demokrasi".
"Ketika Anda membuat suara Anda terdengar besok, atas nama rakyat Amerika, kami mengatakan kepada semua orang baik di Venezuela: estamos con ustedes," kata Pence, menindaklanjuti dengan terjemahan dalam bahasa Inggris. "Kami bersamamu, kami mendukungmu, dan kami akan tetap bersamamu sampai demokrasi dipulihkan dan kau merebut kembali hak lahiriah kebebasan-mu."
Simak video pilihan berikut:
Krisis Ekonomi di Venezuela
Ekonomi Venezuela terperosok tajam. Hiperinflasi, pemadaman listrik, kekurangan makanan dan obat-obatan membuat jutaan warga Venezuela berebut keluar dari negara itu.
Namun orang yang banyak disalahkan atas keadaan buruk bangsa, Nicolás Maduro, yang kembali dilantik sebagai presiden selama periode enam tahun lagi.
Masalah terbesar yang dihadapi Venezuela dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah hiperinflasi, yang berarti bahwa biaya untuk segala hal mulai dari makanan hingga tagihan, meningkat, sementara nilai uang terus turun.
Menurut sebuah studi oleh Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi, tingkat inflasi tahunan Venezuela mencapai 1.300.000 persen dalam 12 bulan hingga November 2018. Pada akhir 2018, harga kontinu meningkat dua kali lipat setiap rata-rata 19 hari.
Ini telah membuat banyak rakyat Venezuela berjuang untuk membeli barang-barang pokok seperti makanan hingga peralatan mandi.
Venezuela dulu merupakan negara kaya karena memiliki salah satu cadangan minyak terbesar di dunia.
Tetapi ketergantungan yang berlebihan pada minyak - yang menyumbang sekitar 95 persen dari total pendapatan ekspornya - membuat negara itu terperosok ketika minyak anjlok pada 2014.
Ini berarti Venezuela dihadapkan dengan kekurangan mata uang asing, yang membuatnya sulit untuk mengimpor barang pada tingkat yang sama seperti sebelumnya, dan barang-barang impor menjadi lebih langka.
Hasilnya: bisnis menaikkan harga dan inflasi naik.
Ditambah lagi dengan kesediaan pemerintah untuk mencetak uang tambahan dan secara teratur menaikkan upah minimum, dalam upaya untuk mendapatkan kembali popularitas dengan kaum miskin Venezuela. Namun, itu justru menyebabkan mata uang mereka kehilangan nilainya dengan cepat.
Advertisement