Ada Politik Uang di Pertemuan PSSI untuk Gusur Edy Rahmayadi?

Pertemuan PSSI dengan anggota terungkap dalam program Mata Najwa.

oleh Defri Saefullah diperbarui 24 Jan 2019, 21:10 WIB
Edy Rahmayadi diduga sudah didesak lewat mosi tidak percaya sebelum menyatakan mundur (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Liputan6.com, Jakarta Pertemuan antara pengurus PSSI dengan voters di Hotel Royal Kuningan pada 17 Januari 2019 mencuatkan dugaan politik uang. Pertemuan itu sendiri diadakan untuk mendesak Edy Rahmayadi mundur dari posisi sebagai ketua umum PSSI.

Hal ini turut menarik perhatian Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Dia pun mendesak Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Bola mengusut dugaan money politics (politik uang) dalam pertemuan para anggota PSSI tersebut.

"Ini kasus aktual. Satgas jangan hanya berkutat mengusut kasus-kasus lama, kasus baru pun harus diusut, bahkan kasus baru ini lebih mudah untuk ditemukan alat buktinya,"ujarnya seperti rilis yang diterima Liputan6.com.

Dugaan politik uang juga terungkap dalam program “Mata Najwa” yang ditayangkan Trans 7, Rabu (23/1/2019) malam. Dalam acara itu, anggota Komite Eksekutif PSSI Gusti Randa mengakui adanya pertemuan PSSI di Hotel Kuningan itu.

Menurut testimoni seorang peserta pertemuan yang disamarkan nama dan suaranya, setiap peserta disodori draf mosi tidak percaya untuk menjatuhkan Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi. Lalu setelah tanda tangan, setiap peserta disodori uang sebesar 1.000 dolar Singapura plus uang tiket pesawat Rp 4 juta yang sudah lebih dulu dibagikan.

"Mereka [para voter] dari daerah ke kami minta uang pengganti. Itu kan sama seperti KPSN [Komite Penyelamat Sepak Bola Nasional] yang menanggung tiket dan hotel," ujar Gusti Randa yang enggan menyebut nominal uang pengganti kepada program "Mata Najwa".

Edy Rahmayadi akhirnya mengundurkan diri dalam Kongres PSSI di Bali, Minggu (20/1/2019), untuk kemudian digantikan Wakil Ketua Umum I PSSI Joko Driyono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PSSI.

 

 


Politik Uang

Edy Rahmayadi saat masih menjabat sebagai ketua umum PSSI (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Neta menilai, uang yang dibagikan untuk menggalang mosi tidak percaya itu termasuk money politics, bahkan bisa digolongkan sebagai bagian mafia sepak bola yang kini sedang gencar diusut Satgas Antimafia Bola.

"Itu bagian dari mafia sepak bola, sehingga sudah menjadi kewajiban satgas untuk mengusutnya,"katanya.

Pengusutan kasus ini, jelas Neta, bisa dimulai dengan memanggil Najwa Shihab selaku host “Mata Najwa” untuk menggali data, siapa orang yang memberikan testimoni dalam acara tersebut.

"Syaratnya, orang tersebut harus mendapat jaminan perlindungan. Satgas bisa menggandeng LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, red). Dari sini, Satgas akan mendapatkan data valid untuk melakukan pengusutan lebih lanjut," katanya.

Satgas, lanjut Neta, juga bisa memanggil para peserta pertemuan PSSI di Hotel Royal Kuningan. Setelah itu, polisi bisa mendapatkan keterangan untuk bahan pengusutan.


Pengurus PSSI Baru

Terkait maraknya wacana pembentukan pengurus dan ketua umum PSSI baru, Neta berpendapat sebaiknya tidak berasal dari anggota yang terkontaminasi masalah match fixing. Dia menyebutnya pengurus lama tak layak untuk mencalonkan diri kembali.

"Mereka yang pernah diperiksa itu sudah potential suspect(berpotensi menjadi tersangka). Bagaimana kalau terpilih menjadi pengurus PSSI kemudian menjadi tersangka? Tentu semua akan repot," katanya.

Saat ini Satgas Antimafia Bola telah menetapkan 11 orang sebagai tersangka suap match fixing atau skandal pengaturan skor pertandingan sepak bola, antara lain Johar Lin Eng, Dwi Irianto dan Hidayat yang juga anggota Komite Eksekutif.

Beberapa petinggi PSSI seperti Sekjen PSSI Ratu Tisha hingga bendahara PSSI juga sudah dimintai keterangan. Ketua Umum (plt) PSSI Joko Driyono pun dipanggil Satgas Antimafia Bola pada Kamis (24/1/2019).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya