Minim Biaya, Petani Lebih Untung Budidaya Padi Organik

Harga jual padi organik lebih mahal Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram (kg), dibanding padi konvensional.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Jan 2019, 10:45 WIB
Seorang petani memanen padi yang dibudidayakan dengan teknik SRI Organik, varietas mentik wangi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta - Petani padi di Kabupaten Tasikmalaya, dikenal telah berhasil mengembangkan padi organik. Kesuksesan petani salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat ini, telah membawa beras organik Indonesia diekspor ke berbagai negara di dunia.

Salah satunya beras organik hasil produksi Adang Suparno, seorang petani di Kampung Cipalegor, Desa Kiarajangkung, Kecamatan Sukahening, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Adang mengatakan, saat hendak memulai untuk berbudidaya beras organik pada 2008, dirinya sempat ragu. Pasalnya selama ini dia menanam padi hanya dengan cara konvensional.

‎Namun, sekarang‎ Adang justru bersyukur telah mengambil keputusan mengolah 13 hektare (ha) sawah dengan cara tanam organik. Lantaran hasilnya lebih unggul, baik dalam jumlah produksi maupun nilai jual. ‎

“Mulai budidaya organik dari 2008, waktu itu ada lahan 13 ha. Alhamduillah hasilnya memang lebih baik dari padi konvensional, dijual juga lebih mahal,” ujar dia di Jakarta, Jumat (25/1/2019).

Menurut Adang, harga jual padi organik lebih mahal Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram (kg), dibanding padi konvensional. Padahal sebagaimana budidaya organik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang, yang diambil dan dikumpulkan dari kandang ternak kambing dan ternak ayam.

“Pupuk diambil dari kandang ternak yang dipelihara sendiri. Jadi lebih minim biaya, karena tidak perlu mengadakan (membeli) pupuk,” kata dia.‎

Pesan Adang bagi petani yang ingin sukses berbudidaya padi organik, yakni harus bisa bersabar untuk mendapatkan hasil yang optimal.

"Harus sabar. Karena di awal pertumbuhannya lamban. Berbeda dengan budidaya padi menggunakan pupuk kimia. Setahun kemudian (barulah) hasilnya bagus,” ungkap dia.‎

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kegigihan Berbuah Manis

Petani tengah memanen padi organik di Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Handewi P Saliem mengatakan,‎ kegigihan dan kesabaran petani padi organik, khususnya di Jawa Barat telah berbuah manis. Pada 2009 untuk pertama kalinya Indonesia mengekspor beras organik ke Amerika Serikat sebanyak 18 ton.

Setelah itu, ekspor juga dilakukan ke berbagai negara dengan volume ekspor berkisar antara 42 ton-152 ton per tahun. Potensi ekspor ini tidak hanya akan menguntungkan petani, tetapi petani secara aktif juga turut memberi kontribusi dalam menyumbangkan devisa bagi negara. Menurut dia, potensi nilai ekspor dari komoditas beras organik sangat besar.

"‎Nilainya sekitar Rp 840 juta-Rp 3 miliar per tahun dengan harga Rp 20 ribu per kg di tingkat Gapoktan," tutur Handewi.

Handewi menyatakan, volume dan nilai devisa tersebut masih bisa ditingkatkan. Karena sampai saat ini permintaan dari negara importir beras organik belum semua dapat dipenuhi. Mengingat beberapa keterbatasan yang masih dihadapi dalam memproduksi beras organik.

Di Indonesia, arah pengembangan padi organik dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu Jawa Barat bagian Selatan di Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, Bogor. Kemudian bagian Timur di Kabupaten Ciamis dan Kuningan serta bagian Utara Kabupaten Subang dan Purwakarta.

"Kementan akan melakukan upaya-upaya, agar kendala dan masalah yang dihadapi dalam pengembangan padi organik tersebut dapat diatasi. Sehingga ekspor beras organik Indonesia dapat menjadi sumber pendapatan devisa yang dapat diandalkan," tandas Handewi.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya