Liputan6.com, Khartoum - Seorang pria berusia 42 tahun dilaporkan tewas akibat terluka selama protes di Sudan, ketika ribuan demonstran melanjutkan aksi protes mereka di beberapa kota, menyerukan Presiden Omar al-Bashir, turun dari jabatannya.
Anggota keluarga korban terakhir, Maawiya Bashir, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa dia ditembak di rumahnya saat berusaha melindungi para pengunjuk rasa yang dikejar oleh pasukan keamanan Sudan.
"Dengan kematian pria itu, jumlah korban jiwa sejak protes meletus di Sudan pada pertengahan Desember, kini telah mencapai 29 orang," kata juru bicara komite investigasi Sudan, Amer Mohamed Ibrahim, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (25/1/2019).
Baca Juga
Advertisement
Menurut saksi mata, Bashir baru saja pulang dari beribadah, ketika beberapa pengunjuk rasa berlari melewati pagar rumahnya.
Dia disebut setuju untuk melindungi pengunjuk rasa, dan menutup rapat pintu rumahnya, kemudian mencegah anggota bersenjata dari pasukan keamanan Sudan masuk.
Tembakan ditembakkan melalui gerbang, mengenai Bashir dan menjatuhkannya ke tanah.
Seham Maawiya Bashir, putri Bashir, menuntut keadilan bagi ayahnya.
"Dia tidak ikut berunjuk rasa atau melakukan apa pun. Dia ada di rumahnya, bagaimana mungkin sebuah peluru menembus pintu dan menabraknya, jika dia bahkan bukan seorang demonstran. Bukti lubang peluru masih ada di pintu," katanya merasa kecewa.
Sejauh ini, terdapat 10 wilayah di ibu kota Khartoum yang menjadi pusat aksi unjuk rasa, di mana terakhir kali berlangsung sejak Selasa 22 Januari.
Al Jazeera mengatakan bahwa kisruh dalam beberapa hari terakhir lebih besar dibandingkan pekan-pekan sebelumnya, di mana tidak hanya terjadi di Khartoum, melainkan di beberapa kota utama lainnya, termasuk Port Sudan di tepi Laut Merah.
Ada juga laporan tentang protes serupa, namun dengan skala lebih kecil, di beberapa wilayah lainnya di Sudan.
Simak video pilihan berikut:
Berubahnya Tujuan Protes
Gelombang protes di Sudan bermula pada pertengahan Desember, ketika warga menentang kenaikan harga, terutama pada bahan bakar minyak.
Namun, dalam sebulan terakhir, aksi unjuk rasa telah berubah menjadi tuntutan agar Al Bashir mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, yang telah dikuasainya selama 29 tahun.
Sejak itu, pihak berwenang di Sudan telah menggunakan gas air mata, peluru karet, amunisi hidup dan pentungan untuk memadamkan kerusuhan.
Pihak berwenang telah memberlakukan undang-undang darurat dan jam malam di beberapa kota, serta menangguhkan operasional pendidikan di banyak sekolah dan universitas setempat.
Mereka juga menangkap para pemimpin oposisi, dokter, jurnalis, pengacara, dan mahasiswa bersama dengan sekitar 800 orang demonstran.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan sebanyak 40 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam bentrokan itu, sebagian besar oleh luka tembak.
Namun, pemerintahan Al-Bashir hanya mengakui 24 kematian.
Advertisement