Liputan6.com, Denpasar - Ratusan jurnalis yang tergabung dalam Jurnalis Bali Bersatu menggelar aksi unjuk rasa menuntut remisi terhadap pembunuh jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gede Narendra Prabangsa, I Nyoman Susrama dicabut.
Aksi long march dari Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Bajra Sandhi Renon ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM pun dilakukan.
Koordinator aksi, Nandhang Astika mengatakan, awalnya Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Susrama. "Tapi disebut sebagai remisi," kata Nandhang, Jumat (25/1/2019).
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar itu melanjutkan, aksi yang digelarnya tidak berkaitan dengan aksi dukung-mendukung Pilpres, karena yang dikritiknya adalah Presiden Jokowi.
Baca Juga
Advertisement
"Aksi kita tidak ada hubungan dengan Pilpres baik (capres) 02 maupun 01. Siapapun yang akan menunggangi, itu urusan kalian dan kami akan lawan. Tujuan kami satu, cabut remisi pembunuh jurnalis," katanya.
Nandhang menilai keputusan Jokowi yang memberikan remisi terhadap Susrama sebagai kemunduran kebebasan pers. "Kasus Prabangsa merupakan kekerasan dan pembunuhan jurnalis di Indonesia yang satu-satunya terungkap," ujarnya.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Anak Agung Gede Kayika menegaskan, kedatangan ia dan rekan-rekan untuk memperjuangkan hak almarhum Prabangsa.
"Keputusan itu kaleng-kaleng alias tidak jelas. Dipermainkan. Apakah bisa mengembalikan nyawa Prabangsa. Otak pembunuhan itu jahat, tidak perlu dimaafkan. Dia melakukan tindakannya tidak memandang kebebasan pers, tidak menghargai hak hidup orang lain," tuturnya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali, Dwikora Putra secara tegas menolak keputusan presiden memberikan remisi terhadap Susrama.
"Ini bukan semata-mata perjuangan kita terhadap almarhum, tapi juga kemerdekaan pers. Sekali kita beri toleransi, maka selanjutnya terjadi hal serupa. Kehidupan pers akan terus terinjak-injak, ditekan kiri-kanan," tegas dia.
Dinilai Kurang Cermat
Pengacara yang ikut berjuang mengungkap pembunuhan Prabangsa, Made Suardana menjelaskan, pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa memakan waktu cukup panjang dan menjadi perhatian publik.
"Pertama, ini kasus publik, kedua, yang dibunuh adalah pilar demokrasi," papar dia.
Menurutnya, Keputusan Presiden (Kepres) mengandung kecacatan saat tidak melakukan elaborasi komprehensif terhadap struktur dan esensi kasusnya.
"Ada 115 orang yang mendapat keistimewaan sama dan diubah. Kasus Prabangsa berbeda. Siapa yang dibunuh itu perbedaannya. Ada ketidakcermatan dari Kanwil Hukum dan HAM Bali dan pusat. Kasus ini harusnya dibuka dulu kepada publik, semacam hearing. Kami menganggap ini terselubung," tuturnya.
Ia juga menyoroti pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
"Logika Yasonna Laoly keliru yang menyatakan pidananya 20 tahun ditambah 10 tahun menjadi 30 tahun. Remisi secara tegas tidak boleh menjalankan hukuman tidak lebih 15 tahun penjara lagi. Artinya, Susrama tidak lama lagi akan bebas. Cabut Kepres 29 tahun 2018, anulir point 94," pintanya.
Advertisement
Enam Tuntutan
Ada enam tuntuan yang mereka sampaikan. Pertama, mengecam kebijakan Jokowi yang memberikan remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara kepada I Nyoman Susrama, pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis.
Kedua, menuntut Presiden Jokowi mencabuy keputusan presiden pemberian remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjsdi pidana penjara sementara terhadap Susrama yang tercantum dalam Kepres Nomor 29 Tahun 2018.
Ketiga, menuntut presiden dan bawahannya agar lebih berhati-hati dan cermat dalam membuat kebijakan-kebijakan yang melemahkan kebebasan dan kemerdekaan pers.
Keempat, mendesak Kanwil Hukum dan HAM Bali mengungkapkan ke publik proses dan dasar pengajuan remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara untuk I Nyoman Susrama pembunuh jurnalis.
Kelima, mendesak aparat penegak hukum agar menuntaskan pengungkapan kasus pembunuhan maupun kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia serta mendorong pemerintah agar menjamin kemerdekaan pers.
Keenam, menuntut Presiden RI harus menjamin dan melindungi kemerdekaan pers. Pada kesempatan itu, istri almarhum Anak Agung Gede Nsrendra Prabangsa ikut hadir dalam barisan aksi demonstrasi.