HEADLINE: Banjir Bukan Takdir, Mengapa Sebagian Sulsel Bisa 'Tenggelam'

Banjir menerjang sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan. Akibatnya, 59 orang meninggal, 25 orang hilang, 47 orang luka-luka, dan 3.481 orang mengungsi.

oleh Yusron FahmiAhmad YusranSwitzy Sabandar diperbarui 26 Jan 2019, 00:03 WIB
Foto: Eka Hakim/ Liputan6.com

Liputan6.com, Jakarta - Samsul tidak bisa berbuat banyak ketika air tiba-tiba menggenangi kawasan rumahnya pada Selasa 22 Januari 2019.

Meski bukan tsunami, air luapan Bendungan Bili-Bili itu menghempas dengan cepat. Beruntung, dia berhasil menyambar jeriken bekas sebagai pelampung. Dia pun akhirnya selamat dari terjangan banjir.

Meski selamat, pria paruh baya ini harus merelakan harta benda dan barang-barang berharga miliknya terendam. Banjir sudah menggenang hingga atap rumahnya yang berada di Blok 8 Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, Makassar. 

Samsul tidak sendirian, ratusan warga lainnya di Perumnas Antang juga senasib dengannya. Selain jeriken seperti dirinya, sejumlah warga juga menggunakan peralatan seadanya demi menyelamatkan diri dari terjangan banjir

"Selain ban dalam mobil bekas, ada juga yang pakai jeriken bekas yang penting selamat. Cukup pakaian di badan yang dipakai mengungsi ke tempat yang lebih aman," kata Samsul Rabu 23 Januari 2019.

Hujan deras sepanjang Senin 21 Januari hingga Selasa 22 Januari membuat beberapa wilayah di Sulawesi Selatan (Sulsel) terendam banjir dan longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, banjir yang disertai longsor berdampak pada 106 desa di 61 kecamatan pada 13 kabupaten atau kota di Sulsel. Banjir menyebar di Jeneponto, Maros, Gowa, Kota Makassar, Soppeng, Wajo, Barru, Pangkep, Sidrap, Bantaeng, Takalar, Selayar, dan Sinjai.

Data sementara BNPB mencatat, bencana ini menyebabkan 59 orang meninggal, 25 orang hilang, 47 orang luka-luka, dan 3.481 orang mengungsi. Selain itu, 79 rumah rusak, 4.857 rumah terendam, dan 11.876 hektare sawah terendam.

"Penanganan darurat bencana banjir, longsor dan puting beliung di Sulawesi Selatan terus kita lakukan," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepada Liputan6.com, Jumat 25 Januari 2019.

Luasnya wilayah yang terdampak dan cuaca hujan, kata Sutopo, menjadi kendala pihaknya bersama BPBD Sulsel dan pemerintah terkait dalam penanganan korban banjir di lapangan.

Infografis Banjir Bandang dan Longsor di Sulsel. (Liputan6.com/Abdillah)

Pakar Hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Maryono menyatakan, meski berskala besar banjir di Sulsel bukan termasuk kategori banjir bandang, tapi hanya banjir besar.

"Banjir di Sulawesi tidak tergolong banjir bandang, melainkan banjir besar karena cuaca ekstrem," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat 25 Januari 2019.

Agus menyatakan, banjir dikategorikan banjir bandang bila datangnya tiba-tiba, berlangsung cepat, sekitar 20 sampai 60 menit, dan menghancurkan infrastruktur serta tak jarang memakan korban jiwa.

"Banjir bandang juga membawa beragam material dari atas (pegunungan), seperti lumpur, pasir, batu, kayu, dan menerjang hilir secara dahsyat," jelasnya.

Meskipun datang tidak disangka, Agus mengatakan kerugian dari banjir bandang sebenarnya bisa diminimalkan. Potensi banjir bandang bisa dibaca lewat sejarah banjir di sebuah daerah.

"Jika sebuah daerah pernah dilanda banjir bandang, tidak menutup kemungkinan banjir bandang bisa kembali suatu waktu," tuturnya.

Ia menyebutkan, di Indonesia hampir semua wilayah rentan banjir bandang, terutama di kawasan pegunungan yang lapuk. Terlebih Indonesia dikelilingi 6.500 sungai besar dan sekitar setengah juta sungai sedang dan kecil.

"Banjir bandang sering terjadi di daerah tekuk lereng," ucap Agus.

Sementara itu, Direktur Walhi Sulsel M Amin menolak jika banjir Sulsel semata karena faktor cuaca ekstrem. Banjir bukan takdir.

"Perubahan iklim memang tidak bisa dihindari. Tapi ini bukan penyebab utama karena sebenarnya bisa diantisipasi," ujar Amin saat dihubungi Liputan6.com, Jumat 25 Januari 2019.

Analisis Walhi, kata Amin, banjir di Sulsel disebabkan karena daerah aliaran sungai (DAS) Jeneberang yang menjadi benteng utama Sulsel dari banjir, kondisinya sudah kritis. Hutannya juga tak kalah kritis. Aktivitas tambang di daerah hilir DAS Jeneberang juga sudah menghawatirkan.

"Dulu, sekitar lima tahun yang lalu kondisi DAS Jeneberang masih mampu mengatasi cuaca ekstrem. Tapi sekarang sudah sangat parah. Daya tampung air di kawasan itu menurun drastis," kata dia.

Akibat tak terserap, air luruh dan menyebabkan erosi hingga ke Bendungan Bili-Bili. Tingginya debit air yang menerjang bendungan, membuat pihak terkait memutuskan untuk membuka bendungan.

"Imbasnya, keluarlah itu air bah. Meluap ke mana-mana. Banjir di mana-mana," kata dia. 

Dari pengamatannya, korban banjir terbanyak adalah warga yang tinggal di sekitar DAS Janeberang.

Sebagai langkah preventif agar banjir tidak kembali terulang, Amin mengusulkan agar pemerintah Sulsel segera membentuk tim khusus untuk restorasi kawasan DAS Jeneberang. Kawasan DAS Jeneberang harus dikembalikan fungsinya seperti semula.

"Ini momentum. Pemprov Sulsel sudah mengakui bahwa banjir ini karena rusaknya alam di Jeneberang. Jadi harus segera diatasi bersama," ungkapnya.

Meski tidak mudah dan butuh waktu panjang, pihaknya yakin ini adalah solusi tepat agar Sulsel tidak tergenang lagi.


6 Rekomendasi LHK

Foto: Eka Hakim/ Liputan6.com

Banjir yang menerjang Sulsel juga menjadi sorotan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Melalui Kantor Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku (P3E Suma), KLHK mengeluarkan enam rekomendasi pengendalian banjir di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang, DAS Tallo serta DAS Maros.

Enam arahan tersebut adalah agroforestry dengan teknik konservasi tanah dan air (KTA), fungsi tutupan hutan dipertahankan, pemanfaatan berbasis korporasi dengan teknik KTA, pemanfaatan non kehutanan dengan teknik KTA, prioritas rehabilitasi dan rehabilitasi.

Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku (P3E Suma) Darhamsyah mengatakan, banjir di Sulsel disebabkan curah hujan tinggi yang berujung meluapnya DAS Jeneberang, DAS Tallo dan DAS Maros.

"Saat ini ketiga daerah aliran sungai itu jadi kategori prioritas status pengendalian bencana banjir. Karenanya harus dipulihkan daya dukungnya," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat 25 Januari 2019.

Menurutnya, tutupan hutan pada ketiga wilayah DAS itu tidak mencapai 30 persen dari total luasan DAS. Tutupan hutan pada DAS Jeneberang, DAS Tallo dan DAS Maros masing-masing hanya meliputi 16.60 persen, 19.76 persen dan 12.10 persen dari luas wilayah DAS tersebut.

"Hal ini yang jadi penyebab rendahnya dukungan alami sungai terhadap upaya pencegahan dan perlindungan terhadap banjir," jelasnya.

Tutupan yang tidak mencapai 30 persen ini juga menjadikan banjir sebagai 'tren tahunan' Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan Maros sejak 2009 hingga 2018. Sebab, tiga daerah tersebut tercatat sebagai daerah hulu dan hilir ketiga DAS di wilayah Sulsel.

"Perlu upaya antisipasi agar bencana banjir dapat dihindari atau diminimalisasi," Darham menjelaskan.

Sementara itu, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanudin Andang Suryana Soma menyatakan, tingginya curah hujan serta faktor lalainya manusia menyebabkan Sulsel 'tenggelam'. Perubahan karakteristik pada daerah hulu dan hilir yang berdampak pada daerah aliran Sungai Jeneberang, Sungai Tallo dan Sungai Maros menyebabkan banjir ketika curah hujan tinggi.

Doktor jebolan Kyushu University Jepang itu pun menekankan pentingnya implementasi konsep perencanaan kota dalam pengelolaan aliran air yang diintegrasikan dengan masterplan drainase.

"Untuk menjamin pengendalian bencana banjir, semua pihak harus fokus pada perbaikan wilayah kawasan hutan di tiga hulu DAS Jeneberang, Tallo dan Maros," kata Andang Suryana kepada Liputan6.com, Makasar, Jumat 25 Januari 2019.

Andang menjelaskan, rekayasa vegetatif dapat ditempuh dengan pemanfaatan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi. Bisa juga melakukan penyediaan air melalui upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta penghijauan di ruang terbuka hijau (RTH).

Sementara untuk rekayasa teknis mencegah dan mengendalikan banjir, sambung Andang, bisa dilakukan dengan penanaman menurut kontur. Sistem pertanaman lorong, penggunaan mulsa, pembangunan DAM pengendali, bronjong, sabo, embung dan bangunan rekayasa teknis pengendali banjir lainnya.

Andang tak menampik jika kompleksitas masalah banjir tidak lepas dari persoalan hutan yang kian banyak beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan maupun permukiman.

"Pemandangannya kini semakin banyak difungsikan untuk berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi masyarakat. Alhasil dari dari tahun ke tahun semakin berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan," katanya.

Andang menambahkan, banjir dan longsor di penyangga kota Makassar, yakni Kabupaten Gowa kini seakan sudah menjadi agenda tahunan yang berlangsung dari tahun ke tahun.


Peringatan BMKG

Banjir Sulsel menenggelamkan ribuan rumah.

Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah yang terdampak cuaca ekstrem yang melanda sejumlah wilayah Indonesia. Tingginya curah hujan mengakibatkan sejumlah wilayah Sulsel diterjang banjir.

Plt Kepala BMKG Sulsel Joharman menyatakan, 24 hingga 26 Januari, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai angin kencang diperkirakan terjadi di Sulsel bagian barat meliputi Kota Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Gowa dan wilayah Sulsel bagian selatan meliputi Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba dan Kepulauan Selayar.

Selain itu, masyarakat juga diimbau mewaspadai gelombang tinggi di perairan sekitar Sulsel. Gelombang dengan ketinggian 1,25 meter hingga 2,5 meter berpotensi terjadi di Teluk Bone bagian selatan. Sedangkan gelombang dengan ketinggian 4 hingga 6 meter berpotensi terjadi di Selat Makassar bagian selatan, perairan barat Sulawesi Selatan, perairan kepulauan Sabalana, perairan Kepulauan Selayar dan laut Flores.

"Kita imbau masyarakat berhati-hati dan tetap waspada terhadap dampak yang ditimbulkan," ujar Joharman kepada Liputan6.com, Jumat 25 Januari 2019.

Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono R Prabowo menyatakan, sejumlah wilayah di Indonesia waspada hujan lebat hingga akhir Januari (23-30 Januari). Selain Sulsel, sejumlah daerah seperti Aceh, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat dan Papua juga berpotensi sama.

Mulyono menambahkan, berdasarkan hasil analisis dinamika atmosfer pada 22 Januari 2019, terpantau masih terdapat aliran massa udara basah dari Samudera Hindia yang masuk ke wilayah Jawa, Kalimantan, Bali, NTB hingga NTT.

Bersamaan dengan itu, masih kuatnya Monsun Dingin Asia beserta hangatnya Suhu Muka Laut di wilayah perairan Indonesia menyebabkan tingkat penguapan dan pertumbuhan awan cukup tinggi. Dari pantuan pergerakan angin, BMKG mendeteksi adanya daerah pertemuan angin yang konsisten dalam beberapa hari terakhir memanjang dari wilayah Sumatera bagia Selatan, Laut Jawa, Jawa Timur, Bali, hingga NTB dan NTT.

Secara khusus, BMKG melalui Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) di Jakarta tengah memonitor adanya tiga bibit badai tropis di dekat wilayah Indonesia. Salah satu bibit siklon yang saat ini berada di Laut Timor berpotensi meningkat menjadi siklon tropis dan mengakibatkan potensi cuaca ekstrem berupa angin kencang yang dapat mencapai diatas 25 knot terjadi di wilayah Indonesia seperti Riau, Kep. Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

"BMKG menghimbau masyarakat waspada dan siaga  menghadapi periode puncak musim hujan 2019. Khususnya akan dampak curah hujan tinggi yang akan memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, banjir bandang dan angin kencang pada akhir Januari 2019," ujarnya melalui pesan tertulis, Jumat 25 Januari 2019.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya