Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun.
Kata dia, target tersebut meningkat sebesar 20,1 persen dari realisasi penerimaan pajak pada 2018.
Kendati begitu, target penerimaan pajak pada 2019, menurut dia, cukup menantang untuk dicapai melihat beberapa sentimen ekonomi global yang tengah terjadi.
"Target penerimaan pajak tahun ini cukup menantang mengingat pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,3 persen dan inflasi 3,5 persen, tetapi tentu kami upayakan yang terbaik," imbuhnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (25/1/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia menambahkan, ditjen pajak telah mengupayakan perbaikan-perbaikan khusus guna mencapai target penerimaan pajak 2019 tersebut. Itu antara lain seperti peningkatan mutu manajemen sehingga objek pajak yang diawasi tepat sasaran.
"Kami kerjakan mulai dari pelayanan, itu akan terus kita tingkatkan di dalam edukasi penyuluhan perpajakan," ujarnya.
Tak hanya itu, beberapa lembaga telah ditjen pajak gandeng untuk meningkatkan pengawasan seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) hingga yang terbaru pada hari ini adalah Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Kita kerja sama dengan beberapa pihak untuk bantu dalam pelaksanaan transparansi," kata dia.
Adapun sebagai informasi saja, sepanjang 2018, Ditjen Pajak mengumpulkan penerimaan pajak sebanyak Rp 1.315,93 triliun. Angka itu masih belum memenuhi target dalam APBN 2018 yakni mencapai 92,41 persen dari target sebesar Rp 1.424 triliun.
Pengamat: Pemerintah Perlu Cara Baru Tarik Pajak Selebgram
Sebelumnya, Kepala Peneliti Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengatakan, memang sulit untuk memetakan pajak bagi selebgram atau selebritas instagram.
Dia menjelaskan, masalah pajak bagi selebgram tersebut bahkan turut menjadi tantangan bagi negara-negara besar di dunia. Negara itu terutama yang termasuk dalam anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.
"Selebgram atau influencer sebenarnya merupakan pihak yang memperoleh tambahan kemampuan ekonomis dari adanya interaksi antar user participants dalam suatu platform digital. Di banyak negara pemajakan atas mereka memang jadi tantangan otoritas pajak," ucapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis 10 Januari 2019.
Oleh sebab itu, dia mengungkapkan, pada akhirnya, perpajakan yang mesti dikenakan bagi selebgram ialah tetap merujuk pada sistem pajak yang berlaku secara umum.
"Oleh OECD digital economy bahkan dijuluki the new shadow economy karena sulit untuk dipetakan dan diidentifikasi aliran sumber penghasilannya. Pemajakan atas selebgram tetap harus merujuk kepada sistem pajak yang berlaku secara umum," ujar dia.
Kendati demikian, dia tidak menampik mungkin memang dibutuhkan sistem administrasi khusus yang mengatur pendapatan tambahan yang diperoleh oleh selebgram itu.
"Dibutuhkan suatu terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhan. Misalkan adanya penggalian informasi baik dari pihak yang meng-endorse mereka maupun dari memantau aktivitas sosial media. Informasi itu kemudian bisa disandingkan dengan informasi yang tertera dalam SPT," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo memaparkan, secara aturan, selebgram memang dikenakan pajak sesuai sistem umum yang berlaku.
Namun, kata dia, pemerintah perlu menciptakan cara baru untuk memonitor pendapatan dari para selebram di sosial media melalui aturan yang telah ada.
"Aturan sebenarnya sama tapi cara memungut pajaknya saja yang berbeda. Mungkin yang mau diatur caranya, yaitu monitoring dan registrasi. Termasuk juga dengan Youtubers," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement