Utang Pemerintah Harus untuk Kegiatan Produktif

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat di akhir 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2019, 17:31 WIB
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat di akhir 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun. Angka ini naik jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2017 yaitu sebesar Rp 3.995,25 triliun.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menyebut bahwa nilai tambah dari utang yang ditarik selama ini belum optimal mendorong kualitas ekspor yang masih rendah. Sebab, ekspor Indonesia selama ini masih tergantung pada harga komoditas.

"Utang, apa yang harus dilakukan? yang bisa dilakukan adalah pertama, dikaitkan dengan tingkat produktivitas. Utang oke, kalau bisa tingkatkan kinerja ekspor," kata Bhima, dalam acara diskusi Forum Tebet, Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Presiden 2019, di Jakarta, Senin (28/1/2019).

Bima mengatakan, tingginya utang tersebut juga akan mempengaruhi Debt to Services Ratio (DSR). Rasio tersebut, mencerminkan kemampuan suatu negara untuk menyelesaikan kewajibannya dalam membayar utang luar negeri. Di mana, DSR membandingkan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dengan jumlah penerimaan ekspor.

"Sekarang hitungnya DSR sekarang masih 24-26 persen, salah satu tertinggi dengan negara berkembang, saingannya Turki," imbuhnya.

Oleh karenya, untuk menurunkan DSR dirinya meminta pemerintah ke depan membuat utang lebih produktif lagi. Sebab, selama menurut Bima, utang lebih banyak digunakan untuk oprasional birokrasi.

"Maka kebijakan pemerintah ke depan, gimana alokasikan pajak dan utang lebih banyak untuk pembelanjaan modal. Sehingga operasional untuk pegawai dan barang dipangkas. Selain itu, utang berkaitan dengan risiko yakni valas," sebutnya.

Di samping itu, kekhawatiran utang yang besar juga akan menghantui pemerintah di tengah kondisi global yang sedang bergejolak. Apalagi, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat atau USD masih bergerak fluktuaktif hingga 2020 mendatang.

"Kenapa khawatir dengan utang? karena Rupiah sedang fluktuaktif, bahkan sampai 2020 karena outlook global tidak bagus. Bagaimana kita kurangi ketergantungan utang terhadap mata uang asing terutama dolar? Bisa gunakan instrumen dalam negeri, terbitkan utang dalam rupiah," pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


Utang Pemerintah Tembus Rp 4.418 Triliun pada 2018

Petugas menghitung uang rupiah di cabang Bank Mandiri Pertamina UPMS III, Jakarta, Rabu (28/6). Bank Mandiri mengoperasikan 319 kantor cabang se-Indonesia secara bergantian pada musim liburan Idul Fitri 26-30 Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat sepanjang 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun.

Angka ini naik jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2017 yaitu sebesar Rp 3.995,25 triliun.

Mengutip data APBN Kita edisi Januari 2019, utang tahun lalu berasal dari pinjaman dan penerbitan surat berharga. Pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan surat berharga sebesar Rp 3.612,69 triliun.

"Pengelolaan utang yang pruden dan akuntabel di tengah kondisi pasar 2018 yang volatile. Rasio utang Pemerintah terkendali, sebesar 29,98 persen terhadap PDB," demikian ditulis Kemenkeu, Jakarta, Selasa (22/1/2019).  

Masih sumber yang sama, pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 799,04 terdiri dari bilateral  Rp 330,95 triliun, multilateral Rp 425,49 triliun dan komersial Rp 42,60 triliun. Sementara itu, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun.

Dari Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah menarik utang sebesar Rp 3.612,69 triliun. Dalam denominasi Rupiah sebesar Rp 2.601,63 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 2.168,01 triliun dan surat berharga syari’ah negara Rp 433,63 triliun.

"Denominasi valas sebesar Rp 1.011,05 triliun, surat utang negara Rp 799,63 triliun dan surat berharga syari’ah negara sebesar Rp 211,42 triliun," tulis Kemenkeu.

Sepanjang 2018, pengelolaan pembiayaan utang semakin membaik. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi utang yang hingga akhir 2018 semakin menurun baik untuk Surat Berharga Negara (Neto) maupun untuk Pinjaman (Neto) serta diluncurkannya program dan format baru pembiayaan.

"Salah satu program pembiayaan yang diluncurkan Pemerintah pada 2018 adalah penerbitan Green Global Sukuk di bulan Februari 2018. Green Global Sukuk merupakan program pembiayaan untuk mendukung pelestarian lingkungan hidup," tulis Kemenkeu.


Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya