Liputan6.com, Jakarta Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira memprediksi pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2019 hanya akan mencapai sekitar enam persen. Angka tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dari yang dipatok pemerintah sebesar tujuh persen.
"Saya prediksi hanya enam persen. Sangat mungkin lebih rendah dari 2018. (Sebelumnya) pemerintah targetkan sekitar tujuh persen," ujar dia dalam acara diskusi Forum Tebet, Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Presiden 2019, di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Advertisement
Bhima mengatakan, pertimbangan lain yang membuat kinerja ekspor berada di bawah target pemerintah yakni tidak lepas dari gejolak perekonomian dunia. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat atau USD dan perang dagang antara China dan AS masih akan berlanjut.
Di samping itu, selain dari dua faktor tersebut, tantangan besar lain dalam menggenjot ekspor Indonesia juga datang dari sikap proteksionisme oleh sejumlah negara. Setelah pada 2018 datang dari India, baru-baru ini justru dihadapkan dengan Filipina.
Bima menyebut, saat ini Filipina telah menyampaikan protes terhadap defisit transaksi perdagangan yang semakin lebar dengan Indonesia. Protes ini diperkirakan dapat berdampak pada proteksi terhadap komoditas kelapa sawit Indonesia.
"Kalau tidak segera ditangkal, khawatir akan menyebar ke negara ASEAN lain dan bisa ke tujuan ekspor sawit. Ini masalah gerak cepat dari pemerintah untuk meyakinkan dari pihak Filipina khususnya Menteri Pertanian bahwa proteksi ini justru merugikan pengusaha lokal dan konsumen di sana karena harga minyak sawit lebih terjangkau bagi konsumen filipina dibandingkan minyak nabati lain," jelasnya.
Hal kedua, dia mengingatkan jika rantai pasok minyak nasional ada pada industri pengolahan produk turunan dari kelapa sawit. Dia khawatir akan kekurangan bahan baku kalau ada proteksi dagang.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Untuk itu, sebagai solusi dirinya menekankan pemerintah harus cepat melakukan diversifikasi produk dan negara asal tujuan ekspor. Meski butuh waktu lama, proses ini harus dijalankan dari sekarang. Sebab, jika tidak, dikhawatirkan kinerja ekspor dapat terus menurun.
Di samping itu, pemerintah juga harus lebih agresif dalam mengalokasikan dana lebih untuk tim negosiasi dan perundingan. Apabila ada riak protes ke produk indonesia, pemerintah juga harus cepat tanggap.
"Selama ini kekurangan ekspor kita adalah kinerja dari tim perundingan dan negosiasi yang masih dianggap lemah karena anggaran kurang," pungkasnya.