Liputan6.com, Makassar Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) resmi meningkatkan status dua kasus dugaan korupsi yang ditangani sejak tahun 2018 ke tahap penyidikan.
Dua kasus dugaan korupsi tersebut yakni kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran pada Perusahaan Daerah (PD) Parkir Makassar Raya kota Makassar dan kasus dugaan korupsi pemberian jaminan pelaksanaan dan jaminan uang muka terhadap kegiatan proyek pembangunan ruas jalan di Kabupaten Majene oleh Jamkrindo Kanca Mamuju, Sulbar.
"Kedua kasus di atas resmi naik ke tahap penyidikan. Di mana alat bukti permulaan adanya unsur perbuatan melawan hukum dinyatakan terpenuhi," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin via telepon, Selasa (29/1/2019).
Kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan anggaran pada Perusahaan Daerah (PD) Parkir Makassar Raya kota Makassar, kata Salahuddin, bermula dari adanya hasil audit independen yang menemukan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran di PD Parkir Makassar Raya sebesar Rp 1.900.000.000 pada tahun 2008 hingga tahun 2017.
"Berdasarkan itu, penyelidikan mendalam dilakukan dengan didukung surat perintah penyelidikan dari Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) bernomor Print-560/R.4/Fd.1/11/2018 tanggal 19 November 2018," ujar Salahuddin.
Baca Juga
Advertisement
Sama halnya dengan kasus dugaan korupsi pemberian jaminan pelaksanaan dan jaminan uang muka terhadap kegiatan proyek pembangunan ruas jalan di Kabupaten Majene oleh Jamkrindo Kanca Mamuju, Sulbar.
Penyelidikan kasus tersebut bermula dari adanya dugaan perbuatan melawan hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.363.228.340 terkait jaminan uang muka dalam pelaksanaan paket peningkatan jalan ruas Salutambung- Urekang Kabupaten Majene, Sulbar pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Sulbar tahun anggaran 2018.
Penyelidikan mendalam pun dilakukan berdasarkan surat perintah penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) bernomor Print-614/R.4/Fd.1/12/2018 tanggal 13 Desember 2018.
"Alhasil ditemukan alat bukti permulaan yang cukup sehingga disimpulkan melalui gelar perkara jika kasus dugaan korupsi tersebut memenuhi unsur ditingkatkan ke tahap penyidikan," terang Salahuddin.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kasus Dugaan Kegiatan Reses Fiktif DPRD Makassar Stagnan di Tahap Penyelidikan
Berbeda dengan kasus dugaan kegiatan reses fiktif pada Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Makassar (DPRD Makassar) tahun anggaran 2016/2017.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan berdasarkan surat perintah penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) bernomor Prin-366/R.4/Fd.1/08/2018 tanggal 28 Agustus 2018, disimpulkan belum dapat ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan alias masih berputar pada tahap penyelidikan.
Meski sebelumnya tim penyelidik telah mengumpulkan data dan dokumen serta meminta keterangan dan pemeriksaan lapangan (on the spot) ke lokasi reses secara acak.
"Namun tidak menemukan adanya kegiatan reses fiktif sebagaimana yang tercantum dalam laporan masyarakat yang masuk," ungkap Salahuddin.
Hal itu, lanjut dia, juga disesuaikan dengan adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2016 nomor 28.C/LHP/XIX.MKS/05/2018 tanggal 29 Mei 2018 yang tidak menemukan permasalahan terkait kegiatan reses anggota DPRD kota Makassar tahun 2016/2017.
"Jadi kasus dugaan korupsi kegiatan dana reses oleh Sekretariat DPRD Makassar ini masih dalam tahap penyelidikan," Salahuddin menandaskan.
Advertisement
ACC Sulawesi Desak Seluruh Legislator Makassar Diperiksa
Sebelumnya lembaga penggiat anti korupsi di Sulsel ramai-ramai mendesak penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel agar segera memeriksa seluruh anggota legislator Makassar dalam penyelidikan kasus dugaan kegiatan reses fiktif DPRD Makassar tahun anggaran 2016/2017 itu.
"Semua anggota dewan di DPRD Makassar harus didalami keterlibatan dalam kasus ini. Apalagi penggunaan dana reses cukup besar," kata Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Abdul Muthalib.
Menurutnya, sangat memungkinkan dugaan penyimpangan dana reses terjadi akibat kegiatan reses fiktif. Di mana anggaran yang dikeluarkan cukup besar untuk kegiatan tersebut.
"Masa reses mengikuti masa persidangan, yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun atau 14 kali reses dalam periode 5 tahun masa jabatan DPRD," terang Muthalib.
Adapun biaya kegiatan reses, kata dia, didukung pada belanja penunjang kegiatan pada Sekretariat DPRD. Dana yang tersedia pada penunjang kegiatan reses pada prinsipnya adalah untuk dipertanggungjawabkan, bukan hanya untuk dilaksanakan apalagi untuk dihabiskan.
"Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan yang didukung dengan bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah. Nah, pembuatan laporan penggunaan anggarannya ini yang sangat rawan direkayasa. Hanya sekali turun reses misalnya. Tapi dilaporan, mereka katakan tiga kali reses," ungkap Muthalib.
Jika benar nantinya anggaran dana reses DPRD Makassar tahun anggaran 2015-2016 tersebut terdapat laporan dan data fiktif, maka seluruh anggota DPRD yang melaporkan data fiktif tersebut harus bertanggung jawab.
“Karena jelas telah memenuhi unsur dugaan menyalahgunakan wewenangnya. Yang bersangkutan bisa dikenakan pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),” Muthalib menandaskan.