Liputan6.com, Aceh Utara - Sebuah makam tua di Kampung Lubuk Tuwe, Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara dibongkar orang tidak dikenal. Sejumlah dugaan mencuat, dari motif menuntut ilmu gaib, hingga mencari harta karun.
Pelaku agaknya tidak sempat menuntaskan aksinya. Tanah makam dibiarkan menganga serta terlihat sejumlah peralatan diduga milik pelaku ditinggalkan begitu saja di sekitar makam.
Baca Juga
Advertisement
Makam ditemukan sudah terbongkar Senin, 29 Januari 2019. Saksi mata mengaku melihat makam dalam kondisi telah teracak-acak saat dia dalam perjalanan pulang dari kebun cabai miliknya sekitar pukul 15.15 WIB.
Saat itu, saksi penasaran melihat ada urukan tanah di dalam bangunan makam yang dianggap keramat tersebut. Setelah melihat kondisi makam, saksi mata melapor kepada warga.
Warga melaporkan kejadian pembongkaran makam ini ke polisi. Di lokasi, pihak berwenang menemukan dua buah sekop, dan masing-masing satu buah, linggis, goni, serta botol air mineral.
Kapolres Lhokseumawe, AKPB Ari Lasta Irawan, melalui Kapolsek Meurah Mulia, Iptu Bustami, mengaku, pihaknya belum bisa memastikan apa motif di balik pembongkaran makam tersebut. Penyelidikan sedang dilakukan untuk mengungkap siapa pelaku.
"Benda-benda yang hilang tidak ada. Karena, pas 1 meter penggalian, mungkin ya, enggak tahu kejadiannya, karena kan namanya kuburan keramat kan, jadi, belum selesai perbuatannya, lalu, barang-barang yang ada di TKP ditinggalkan pelaku," ungkap Bustami, kepada Liputan6.com, Rabu (30/1/2019).
Makam Muslimin Tertua di Asia Tenggara
Center of Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH), menyebut, makam yang dibongkar itu salah satu makam muslimin tertua di Asia Tenggara. Makam tak bernama ini dikenal warga sebagai makam 'Tgk. Raja Amad'.
Banyak yang percaya makam tersebut sakral dan keramat. Ini terlihat banyaknya yang berziarah ke makam yang berada di antara pemukiman penduduk tersebut.
Para peziarah datang dari berbagai tempat, termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam. Selain itu, tidak jarang para peneliti datang untuk melakukan riset di makam tersebut.
Bangunan yang menutupi makam ini berada di atas lahan warga, dan dikelilingi kuburan umum. Di samping makam 'Tgk. Raja Amad' terdapat satu makam yang tidak bersurat (berenkripsi).
"Dua tokoh pemilik makam yang nisannya bersurat wafat pada tahun 622 Hijriah atau 1226 Masehi. Dari data pada batu nisannya, salah satu pemilik makam itu bernama Ibnu Mahmud. Sedangkan satu lagi 'Tgk. Raja Amad', pada batu nisannya tidak tertulis nama pemilik makam, tapi hanya menyebutkan sifat-sifat pemilik makam. Namun, tahun wafatnya sama dengan tahun wafat Ibnu Mahmud yaitu 622 H," ungkap Ketua CISAH, Abdul Hamid, kepada Liputan6.com, Rabu, 30 Januari 2019.
Makam yang dikenal dengan nama makam 'Tgk. Raja Amad', ujar Abdul, dimiliki oleh seseorang yang disifatkan sebagai As-Sa'id Asy Syahid Mahbub Qulub Al-Khala'iq. Jika diartikan berarti 'yang berbahagia lagi syahid dan dicintai oleh hati banyak orang'.
Sementara, imbuh Abdul, tak jauh dari bangunan makam 'Tgk. Raja Amad' ada satu makam lagi yang cenderung tebengkalai. Makam ini dibiarkan begitu saja tanpa diatapi atau dibangun ruangan pelindung seperti makam 'Raja Amad'.
"Gubuk saja tidak ada. Jadi terbiarkan begitu saja. Kena air hujan, matahari. Deskripsi atau catatan yang ada di batu nisannya lama-lama aus," ujarnya.
Advertisement
Salah Satu Cagar Budaya
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan CISAH, di tempat itu hanya ada tiga buah batu nisan yang tarikh wafatnya lebih tua dari Sultan Malikussaleh. Hal ini, mementalkan literasi sejarah bahwa kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaam Islam tertua di Asia Tenggara.
"Kita temukan tiga nisan yang tarikh wafat lebih awal, ketimbang wafatnya pendiri kerajaan Samudera Pasai. Berarti orang ini, lebih awal (wafatnya) dari Sultan Malikussaleh," ujar Abdul Hamid, kepada Liputan6.com, Rabu siang (30/1/2019).
Sayangnya, makam muslimin tertua di Asia Tenggara ini belum tercatat sebagai situs cagar budaya. Selama ini, yang merawat dan menjaga makam adalah warga setempat dengan jalan gotong royong.
"Kalau tercatat sebagai situs cagar budaya, otomatis makam sudah ada juru pelihara," ujar pria yang akrab disapa Abel ini.
Secara terpisah, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara, Nur Liana, membenarkan tiga makam muslimin tertua di Asia Tenggara tersebut belum teregistrasi sebagai cagar budaya. Namun, usaha untuk meregistrasi makam-makam tersebut agar tercatat sebagai cagar budaya terus dilakukannya.
"Bukan tidak ada upaya. Di Aceh Utara terlalu banyak situs makam. Saya sudah mendaftarkan 70 lebih. Ketika kita mengatakan satu cagar budaya itu harus ada rekom dari TACB atau Tim Ahli Cagar Budaya. Dan kita, sampai hari ini, belum punya," ungkap Nur, kepada Liputan6.com.
Peraturan registrasi sebuah situs sebagai cagar budaya, sebut Nur, harus sesuai dengan aturan dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Namun, dirinya sendiri mengakui, makam-makam tersebut merupakan cagar budaya.
Simak video pilihan berikut ini: