Urip iku Urub, Persembahan untuk Peter Carey sang Peneliti Diponegoro

Urip iku Urub merupakan perayaan terhadap Profesor Peter Carey, sang peneliti Pangeran Diponegoro, yang mengambil makna filosofi Jawa tentang hidup yang bersinar.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 30 Jan 2019, 21:12 WIB
Peluncuran Buku Urip iku Urup, 70 Tahun Prof Peter Carey oleh Penerbit Buku Kompas hari ini di Perpustakaan Nasional (30/01/2019)

Liputan6.com, Jakarta - Urib iku Urub adalah salah satu filosofi Sunan Kalijaga yang berarti bahwa hidup harus menyala seperti sinar dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Falsafah inilah yang dijadikan judul buku persembahan 70 tahun Profesor Peter Carey, adjuct professor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang telah meneliti Pangeran Diponegoro selama lebih dari 40 tahun.

Profesor Peter Brian Ramsay Carey dalam peluncuran bukunya di Auditorium Perpustakaan Nasional, Selasa (30/1/2019) mengatakan, dia tak punya alasan khusus mengapa falsafah itu diambilnya sebagai judul. "Saya hanya sedang membaca buku tasawuf Jawa dan kata-kata itu ada di sana," ujarnya.

Alasan lain, Pangeran Diponegoro sering mengartikan namanya dengan istilah Sansekerta dipa yang berarti 'lampu'.

Banyak orang yang mengenal Peter Carey menyebut bahwa Peter sangat Jawa, bahkan lebih dari orang Jawa sendiri. Profesor Wardiman Djojonegoro, mantan Mendikbud yang juga pengusul Babad Diponegoro sebagai warisan Unesco, menyebutkan hal itu terlihat dari tindakan Peter saat melakukan penelitian awalnya di Jogja.

Saat itu Peter Carey kehilangan kameranya akibat tingkah nakal seorang pelayan. Ia juga merasa selalu diganggu dan banyak masalah di rumah kos yang ditempatinya. Salah satunya adalah atap kamarnya selalu yang bocor.

Alih-alih menyelesaikan segala sesuatunya secara sangat logis, Peter Carey justru memanggil "orang pintar" untuk menerawang permasalahan yang dihadapinya. Ternyata, orang pintar itu mengatakan bahwa bule dari Inggris tersebut diganggu oleh arwah juru tulis Pangeran Diponegoro, Raden Mas Tumenggung Reksoprojo, yang tidak suka dengan orang asing.

Kemudian, sang orang pintar memberitahu bahwa bule yang mukim di sana merupakan bule baik-baik. Peter Carey pun diminta tak melanjutkan proses hukum terhadap si pelayan, mengadakan selametan dengan mengundang keluarga Raden Mas Tumenggung Reksoprojo, serta minum ramuan tertentu selama seminggu. Hasilnya sungguh ajaib, kamera beserta foto-foto hasil risetnya kembali secara utuh.

Wardiman Djojonegoro menyebut Peter mengikuti 'takdir yang menuntun' sebab begitu memutuskan meneliti Pangeran Diponegoro setelah mendapatkan kontak batin melalui sebuah lukisan tentang perkemahan Pangeran Diponegoro karya FVHA de Stuers, dia memutuskan pergi ke Indonesia menaiki kapal Djakarta Llyod. Di sinilah Peter mengalami sebuah trauma dan sakit mengerikan yang menyebabkan dia hampir mati. Namun, sebagai seseorang yang mempercayai pertanda, Peter menganggap ini sebagai pengalaman berharga.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Takdir yang Menuntun

Sebagian penulis dalam buku Urip iku Urup, persembahan 70 Tahun Prof Peter Carey oleh Penerbit Buku Kompas hari ini di Perpustakan Nasional (30/01/2019)

Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae mengatakan Peter Carey merupakan sejarawan yang melibatkan diri dalam konteks sosiokultural dengan objek yang ditelitinya.

"Pak Peter mengajarkan untuk tidak menjadi sejarawan yang meneliti di balik meja, tetapi ikut terjun langsung ke lapangan. Sejarah sesungguhnya mengajarkan agar tragedi tidak berulang," ucapnya.

"Diponegoro sudah menjadi subjek, bukan lagi objek dalam penelitiannya. Bahkan, studi tentang Diponegoro ini sudah dialihkan menjadi karya yang lebih popular: film, kartun, dan pementasan," ujarnya.

Daniel berpendapat Peter Carey telah mengajarkan generasi kiwari memahami sejarah dengan lebih kekinian. Pameran Aku Diponegoro di Galeri Nasional pada 2015 ditonton lebih dari 24.000 orang. Selain itu, Peter Carey juga mengajak anak-anak muda memahami Diponegoro lebih lanjut dengan menyusuri peninggalan-peninggalannya.

Dalam sambutannya, FX Domini BB Hera selaku penyunting Urip iku Urub menyatakan buku ini adalah hadiah yang terlambat bagi Profesor Peter Carey. "Saya mengumpulkan 23 penulis untuk berpartisipasi dalam penyusunan buku ini, tentu tak elok kalau tidak merepotkan Pak Peter sendiri. Karena itu, saya meminta dia menuliskan riwayat hidupnya untuk bagian awal buku ini," ujarnya.

Ketika pertama kali menerima tulisan Peter, Sisco—panggilan akrab FX Domini BB Hera—mengaku kaget. Peter Carey menulis dia lahir di Yangoon, Birma, kini Myanmar, pada Jumat Pon, 30 April 1948.

"Jadi tidak hanya menuliskan harinya saja, bahkan hari pasarannya juga ditulis," ujar Sisco.

Secara khusus, Sisco berpendapat hari ulang tahun ke-70 Profesor Peter Carey harus dirayakan karena separuh hidupnya dihabiskan untuk meneliti soal Jawa dan Indonesia.

Peter Carey sendiri menyebut Pangeran Diponegoro adalah warisan ingatan dunia. "Pangeran Diponegoro paham bahwa takdirnya berkuasa hanya sebentar. Dia bisa membaca masa depan, dari empat syarat yang diberikannya kepada Belanda. Dia juga paham asal-usulnya, karena itu penting bagi kita memahami pelajaran yang diberikan Diponegoro, yakni siapa diri saya, dari mana saya berasal, dan mau ke mana," Peter menegaskan.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya