Liputan6.com, Malang - Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Malang, Jawa Timur, paling banyak mengalami kasus biaya penempatan yang berlebih atau overcharging. Praktik curang yang mereka alami karena ulah agensi di luar negeri itu terus terjadi selama dua tahun terakhir ini.
Kepala Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) Malang, Mohammad Iqbal, mengatakan pada 2017 tercatat ada 108 kasus dan menjadi 214 kasus pada 2018 lalu. Kasus itu seperti kekerasan sampai meninggal dunia karena sakit dan bunuh diri.
“Konfigurasi kasusnya beragam. Tapi paling banyak karena angsuran yang melebihi ketentuan atau overcharging,” kata Iqbal di Malang, Rabu, 30 Januari 2019.
Baca Juga
Advertisement
Menurut dia, kasus ini terjadi di negara tempat pekerja migran itu bekerja. PMI mengangsur biaya pemberangkatan dan penempatan memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Penempatan PMI. Melalui skema ini, besar bunga sampai batas waktu sudah ditentukan.
“Besar biaya yang harus diangsur sudah diketahui. Pihak agensi yang memainkan ini, sehingga tagihan jadi berlebih. Pekerja migran kemudian melaporkan itu,” ujar Iqbal.
Sejauh ini agensi nakal baru bisa diberi sanksi administrasi berupa teguran agar mengembalikan selisih biaya berlebih itu. Namun ke depan, akan didata agensi yang berulangkali berbuat curang. Termasuk berkoordinasi dengan kantor perwakilan di luar negeri.
“Misalnya di Hongkong, kalau ada agensi mereka yang nakal maka peringkatnya bisa diturunkan. Kalau tetap nakal maka pihak sana bisa mencabut izinnya,” urai Iqbal di kantornya di Jalan Sulfat, Kota Malang.
Kantong Pekerja Migran
Provinsi Jawa Timur termasuk wilayah terbesar warganya menjadi pekerja migran. Pada 2018 lalu, total ada 70.393 warga provinsi ini bekerja di luar negeri. Dari jumlah itu, sebanyak 8.842 orang berasal dari Kabupaten Malang.
“Kabupaten Malang ini masuk tiga besar, daerah dengan jumlah PMI tertinggi di Jawa Timur,” ujar Iqbal.
Sebagian besar warga asal Malang itu memilih Taiwan dan Hongkong sebagai negara tujuan bekerja. Sisanya, tersebar di Singapura, Malaysia dan negera – negara asia lainnya. Mereka mayoritas bekerja di sektor domestik.
“Kalau di Timur Tengah kan moratorium belum dicabut, jadi ya tidak ada yang ke sana,” ujar Iqbal.
Ia sekaligus menjawab adanya informasi yang beredar beberapa hari lalu tentang seorang pekerja migran wanita asal Desa Brongkal, Kecamatan Pagelaran yang hendak berangkat ke Arab Saudi tapi dikirim ke Suriah.
“Ada kepala desa yang melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat, seorang warganya dikirim ke Suriah. Kami belum bisa memastikan informasi itu,” ujar Iqbal.
Namun, laporan itu tak disertai dengan dokumen pendukung berupa surat kronologis permohonan bantuan sampai administrasi kependudukan. Sehingga sulit untuk melacak keberadaan warga Desa Brongkal itu.
“Suriah itu sendiri kan sudah ditutup, pemerintah melarang menempatkan warganya ke kawasan konflik. Kalau ada yang ke sana, bisa dipastikan non prosedural,” kata Iqbal.
Advertisement