Kisah Haru Korban Tsunami Selat Sunda Jadi Yatim Piatu

Pantai Anyer Carita Kabupaten Serang Provinsi Banten menjadi salah satu lokasi Tsunami Selat Sunda yang menelan banyak korban.

oleh Nefri Inge diperbarui 01 Feb 2019, 08:29 WIB
Pantai Anyer Carita Kabupaten Serang Provinsi Banten yang menjadi lokasi Tsunami Selat Sunda pada akhir tahun 2018 lalu (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Ombak bergulung-gulung di bibir Pantai Anyer Carita, Desa Cibenda, Kecamatan Carita, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Pantai yang dulunya menjadi destinasi wisata alam, kini dihiasi puing-puing bangunan yang rusak akibat Tsunami Selat Sundaakhir tahun 2018 lalu.

Bagaskara (16), remaja berkaus biru ini berdiri di atas sisa rumah yang menjadi saksi bisu amukan ombak Pantai Anyer Carita. Sesekali remaja ini tertunduk melihat bekas rumahnya yang ia huni bersama ibunya, Sri Mujiati.

Kesedihan terpancar di wajah anak tunggal ini. Bukan karena rumahnya luluh lantak tidak bersisa, tapi karena kesedihannya harus hidup sendirian tanpa ibunya.

Bagas, sapaan akrabnya, dulunya merupakan remaja yang ceria. Dia bersama ibunya tinggal bersama di rumah yang juga dijadikan warung di pinggir pantai. Sebagai anak satu-satunya, Bagas membantu ibunya mencari pundi-pundi uang untuk kelangsungan hidup mereka.

Pada hari Kamis (22/12/2018) malam, dia menemani saudara sepupunya ke dalam hutan di dekat rumah, untuk mengumpulkan buah durian yang akan dijual. Tidak ada firasat apapun yang dirasakannya.

Namun dia tidak menyangka, sebelum berangkat ke hutan, itulah terakhir kalinya dia bisa bertatapan langsung dengan ibundanya sebelum bencana Tsunami Selat Sunda terjadi.

Pada pukul 21.27 WIB, ombak besar bergulung sangat tinggi, menghantam seluruh bangunan yang ada di pinggir pantai. Tak terkecuali rumahnya, yang ditinggalkannya saat ibunya sedang beristirahat di dalam kamar.

“Malam itu, saya mendengar ada yang teriak. Karena penasaran, kami langsung turun ke jalan. Saat itu saya kaget, seluruh rumah di pinggir pantai sudah hancur. Banyak reruntuhan rumah dan barang lainnya berserakan,” katanya kepada Liputan6.com, saat ditulis Kamis (31/1/2019).

Bagas langsung berlari ke rumahnya, memikirkan bagaimana kondisi ibunya yang sendirian di rumah. Perasaannya pun hancur, ketika rumahnya tidak bersisa lagi. Seluruh isi rumah sudah berserakan kemana-mana.

Kamar tempat ibunya tidur pun sudah tidak bersisa lagi. Bagas semakin ketakutan, dia terus mencari-cari dimana ibunya berada.

“Saya cari ibu saya ke lokasi pengungsian, ke rumah saudara sampai menelusuri ke setiap sudut di dekat rumah dan pinggir pantai, tapi tidak ada juga. Saya hanya dibantu keluarga untuk mencari ibu dan anggota keluarga lainnya yang hilang,” ujarnya tertunduk lesu.

Remaja tamatan Sekolah Dasar (SD) ini akhirnya mendapat kabar baik sekaligus kabar buruk di hari ketiga pasca Tsunami Selat Sunda. Salah satu warga menemukan jasad ibunya terbujur kaku di dekat rumah saudaranya.

Jasad Sri Mujiati ditemukan tertutup reruntuhan pohon bambu, tepat di depan rumah bercat biru di pinggir jalan.

 


Temukan Jasad Ibu

Bagas duduk di atas puing-puing rumahnya yang dulu dihuninya bersama ibunya (Liputan6.com / Nefri Inge)

Perasaan Bagas begitu terpukul, karena satu-satunya orangtua yang tersisa, ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Dia sangat hapal bagaimana kondisi terakhir ibunya saat ditemukan pertama kali.

“Kondisi tubuh ibu luka semua, kepala ibu retak di tengah dan kakinya juga robek. Sedih sekali saat pertama kali melihat kondisi ibu, tapi saya bersyukur jasad ibu ditemukan,” katanya.

Satu hari usai ditemukan, jenasah ibunya langsung dimakamkan tak jauh dari kediamannya. Bagas yang sudah ditinggal pergi ayahnya karena insiden tabrakan saat dia masih duduk di kelas 1 SD, kini harus kehilangan ibunya yang jadi korban bencana alam.

Sebelum bencana alam tersebut memisahkannya dengan ibunya, Bagas mendapatkan firasat aneh di tengah hutan. Saat dia mengambil air di aliran air terjun, Bagas melihat ular panjang bercorak hitam putih di aliran air terjun tersebut.

Ular tersebut sangat dekat dengan dirinya, namun hanya lewat saja dan berenang masuk ke dalam aliran air yang lebih deras. Bagas merasa heran, karena selama dia keluar masuk hutan dan mengambil air di lokasi tersebut, dia tidak pernah melihat ular seperti itu.

“Baru kali ini saya melihat, tapi tidak berpikir apa-apa. Waktu ular itu menghilang, barulah saya mendengar warga berteriak. Mungkin itu petanda tsunami akan terjadi, tapi saya tidak sampai terpikir ke sana,” katanya.

 


Jualan Durian

Para warga Desa Cibenda Kabupaten Serang Provinsi Banten berjualan buah durian di lokasi tsunami Banten akhir tahun 2018 lalu (Liputan6.com / Nefri Inge)

Satu bulan sudah tsunami Banten berlalu, namun rasa sedih Bagas masih terus terpancar ketika dia teringat akan kenangan bersama ibunya. Kini Bagas tinggal di rumah kakek neneknya, membantu sang kakek berjualan buah durian di pinggir jalan.

“Kalau dulu tinggal sama ibu, tugas saya ambil air, belanja ke pasar untuk dijual di warung, mencari rumput laut untuk dijual dan ambil buah durian untuk dimakan bersama ibu. Tapi sekarang tidak bisa lagi,” ucapnya lirih.

Setiap hari, dia mendapat uang jajan Rp 20.000 , jika durian yang dijajakannya laku semua. Tapi jika jualannya kurang diminati, dia hanya mendapat uang jajan sebesar Rp 10.000 setiap hari.

Dia juga sering mendapatkan bantuan dari para donatur, baik berupa sembako maupun uang santunan. Bantuan tersebut dibawa pulang ke rumah kakek, untuk membantu kehidupannya bersama orangtua ibunya.

Saat ditanyakan tentang apa cita-citanya, Bagas hanya terdiam. Tak berapa lama dia baru bilang kalau dia tidak mempunyai cita-cita maupun mimpi untuk hidupnya. Dari tutur katanya bercerita tentang sang ibu, tersirat keinginan Bagas untuk kembali lagi hidup berdua bersama ibunya.

“Tidak ada cita-cita, tidak tahu mau apa nantinya. Saya juga sudah putus sekolah sejak tamat SD. Masih ingin bersekolah, tapi tidak ada uang. Dulu tinggal sama ibu juga, tidak ada dana untuk sekolah,” ungkapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya