1-2-1902: Pelarangan Foot Binding, Kaki Bentuk Lotus yang Memicu Fantasi Seksual Pria

Foot binding adalah kebiasaan menerapkan pengikatan ketat pada kaki gadis-gadis untuk memodifikasi bentuk dan ukuran kaki mereka.

oleh Elin Yunita KristantiTeddy Tri Setio Berty diperbarui 01 Feb 2019, 06:00 WIB
Foot binding adalah kebiasaan menerapkan pengikatan ketat pada kaki gadis-gadis untuk memodifikasi bentuk dan ukuran kaki mereka (Wikipedia/Public Domain)

Liputan6.com, Beijing - Suatu hari pada tahun 1900, istri seorang diplomat China sowan ke kediaman Cixi, ibu suri Kerajaan Tiongkok. Perempuan itu, juga putri-putrinya, tak memakai pakaian tradisional. Mereka mengenakan pakaian ala Barat paling bergaya pada masanya. Penuh renda dan lipit, roknya agak megar.

Di tengah kunjungan, istri diplomat itu berkata,"praktik mengikat kaki para perempuan China membuat kita jadi bahan tertawaan di dunia."

"Aku sudah dengar," jawab ibu suri. "Bahwa orang asing memiliki kebiasaan yang katanya tidak tercela."

Ia lalu meminta tamunya untuk menunjukkan bagaimana perempuan asing mengikat pinggang mereka. Mumpung tidak ada orang lain di dalam ruangan kala itu. Salah satu putri diplomat kemudian menunjukkan apa yang melilit pinggangnya yang ramping.

"Sungguh menyedihkan apa yang harus dialami wanita asing. (Pinggang) mereka diikat dengan batang baja sampai mereka hampir tidak bisa bernapas. Kasihan, kasihan!," kata ibu suri Cixi.

Meski begitu, seperti dikutip dari situs University of Virginia, pada 1 Februari 1902, Cixi akhirnya melarang praktik tradisi pengikatan kaki para perempuan China atau foot binding menyusul Pemberontakan Boxer.

Tujuannya, untuk menenangkan orang asing. Namun, larangan tersebut kemudian dibatalkan.

Praktik pengikatan kaki dilakukan sejak anak-anak, bahkan sejak usia 2 tahun. Alasannya, pada saat itu, kaki bocah yang masih mungil mudah dibengkokkan dan dibentuk.

Ritual tersebut dimulai dengan memotong kuku, merendam kaki dalam air hangat -- campuran darah binatang dan herbal -- untuk melunakkan jaringan dan tulang.

Setelah dipijat dan disiram dengan tawas, semua jari kecuali jempol, dilipat paksa dan dibengkokkan ke telapak bagian bawah. Dibebat dengan kain sutra atau katun.

Kain pengikat akan diganti tiap 2 hari, untuk dicuci agar mencegah infeksi. Lalu setelah kering cepat-cepat dibebatkan lagi jauh lebih erat dari sebelumnya. Para gadis yang kakinya diikat dipaksa jalan menempuk jarak lumayan jauh, supaya berat tubuh mereka meremukkan kaki hingga ke bentuk yang diinginkan: mirip lotus.

Ungkapan beauty is pain, cantik itu menyakitkan, tergambar dalam praktik itu. Dalam bentuk paling ekstrem.

Makin kecil bentuknya dianggap makin indah. Bentuk kaki yang dianggap 'Golden Lotus' memiliki panjang hanya 3 inchi atau 7,62 cm. Orangtua dan suami pun kian bangga dibuatnya, meski perempuan yang dianggap cantik itu harus susah payah berjalan. Jangankan melangkah, berdiri pun oleng.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Sejarah Foot Binding dan Fantasi Seks Pria

Foot binding adalah kebiasaan menerapkan pengikatan ketat pada kaki gadis-gadis untuk memodifikasi bentuk dan ukuran kaki mereka (Wikipedia/Public Domain)

Ada banyak legenda yang dianggap sebagai asal-usul praktik foot binding. Konon, pada masa Dinasti Shang, selir bernama Daji memiliki kaki yang pengkor.

Alkisah, ia meminta pada kaisar untuk mewajibkan perempuan mengikat kakinya. Sehingga bentuk kakinya jadi standar kecantikan dan keanggunan.

Kisah lain menyebut, Pan Yu’er, perempuan penghibur favorit Kaisar Xiao Baojuan (483-501) yang memiliki kaki yang halus, menari di atas panggung bertatahkan emas dan mutiara, dan dihiasi dengan desain bunga lotus.

Sang kaisar kemudian menyatakan kekagumannya dan berseru, "lotus muncul dari setiap langkahnya!". Konon dari situlah istilah 'kaki lotus' berasal, meski tak jelas apakah Pan Yu’er juga membebat kakinya jadi sekecil mungkin.

Namun, seperti dikutip dari situs danceshistoricalmiscellany.com, versi yang paling banyak diterima adalah Kaisar Li Yu meminta selirnya Yao Niang untuk mengikat kakinya dengan sutra putih, hingga bentuknya mirip bulan sabit dan melakukan tarian dengan ujung kakinya, mirip balet.

Dengan kaki seperti itu, Yao Niang digambarkan sangat anggun. Ini kemudian ditiru oleh wanita kelas atas lainnya, lalu menyebar ke seluruh Tiongkok.

Dinasti demi dinasti kemudian, membebat dan mengikat kaki menjadi populer, bahkan berasosiasi dengan kesejahteraan dan kecantikan. Para gadis desa merasa perlu mengecilkan kakinya dengan paksa demi menikahi pria kaya.

"Aku tak bisa menari, tak bisa bergerak wajar. Aku menyesalinya bukan kepalang. Namun, jika saat itu tidak mengikat kaki, tak ada yang akan sudi menikahimu," kata Zhou Guizhen, salah satu perempuan China terakhir yang memiliki kaki mirip lotus, saat diwawancara NPR.org.

Dalam budaya China, kaki yang diikat hingga sejumlah jemarinya remuk itu dianggap sangat erotis.

Saat berjalan, wanita dengan kaki kecil itu terpaksa menekuk lutut dan menyeimbangkan tumit. Gerakan mereka saat berusaha menyeimbangkan tubuh, gerakan bergoyang itu, dianggap menarik bagi banyak pria. Dianggap memicu gairah. 

Gaya berjalan seorang wanita dengan kaki terikat akan memperkuat otot-otot vaginanya, itu yang diyakini kala itu, meski tak ada bukti ilmiah apapun yang mendukung hipotesis tersebut.

Meskipun buku panduan seks Dinasti Qing mencantumkan 48 cara memainkan kaki perempuan yang dibebat, banyak pria lebih suka untuk tidak melihat kaki dalam kondisi terbuka.

Para lelaki lebih senang melihat kaki-kaki kecil yang ditekuk paksa hingga remuk itu disembunyikan dalam sepatu kecil berhias sulaman.

Menyembunyikan kaki dari mata para pria dianggap tindakan yang menarik secara seksual. Meski sebenarnya, tujuannya sebenarnya praktis.

Yakni, kaki yang terbuka akan mengeluarkan bau busuk karena infeksi jamur kronis dan potensi gangren -- jaringan tubuh mengalami nekrosis atau mati.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya