Waspada Potensi Banjir Jakarta Awal Februari

10 hari pertama pada Februari akan menjadi puncak musim hujan yang terjadi di Jakarta. Waspadai kemungkinan banjir.

oleh Mevi LinawatiNanda Perdana PutraRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 02 Feb 2019, 00:03 WIB
Suasana gedung-gedung bertingkat dengan langit mendung di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (23/11). BMKG memperkirakan puncak musim hujan di Jakarta diprediksi terjadi sepanjang Januari hingga Februari 2019. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Puncak musim hujan di Jakarta disebut akan terjadi pada 10 hari pertama Februari 2019. Masyarakat diminta bersiap dengan kemungkinan banjir di Ibu Kota.

"Jadi kita akan was-was nanti sekitar bulan Februari pada tanggal 1 sampai 10. Kapannya, jam berapanya, tinggal tunggu informasi BMKG. Karena ada jangka panjang, jangka menengah, dan jam-jaman dari BMKG," ujar Pakar Hidrometeorologi Armi Susandi di Graha BNPB, Jakarta, Kamis 31 Januari 2019.

Menurutnya, masyarakat harus bersiap dengan kemungkinan banjir di Jakarta. Kawasan yang rawan membentang dari wilayah Selatan hingga Utara. Ia mengatakan, kemungkinan akan ada banjir kiriman yang kemudian disambut oleh bulan purnama di wilayah utara.

"Kalau kombinasi ini terjadi, bulan purnama air pasang naik, lalu ada kiriman dari Bogor dan hujan Jakarta, dalam waktu kurang dari enam jam ketiga-tiganya maka Jakarta akan terendam," jelas Armi.

"Tapi kalau salah satunya saja terjadi, tidak sekaligus, maka dia akan menjadi banjir sesaat. Itu kesepakatan kita untuk persiapan BPBD di Jakarta," kata dia.

Dia mengatakan, potensi banjir luas bisa terjadi jika curah hujan 10 milimeter dalam jangka waktu enam jam sepekan berturut-turut. Terlebih infrastruktur di ibu kota tergolong tidak memadai jika harus menghadapi hujan lebat sampai tujuh hari beriringan.

Armi mencontohkan, fasilitas pompa air untuk memindahkan genangan hujan di Jakarta akan bekerja sangat berat dan tidak seimbang dengan debit air yang ada.

Banjir yang parah, kata dia, dapat terjadi di ibu kota jika ada empat prasyarat, pertama hujan deras tersebut diikuti dengan banjir kiriman, dan terjadi rob dari utara.

"Infrastruktur kita tidak bagus penyerapan airnya. Pompa kita tidak sebaik di Seoul, Korea Selatan. Karakteristik Jakarta itu mirip Seoul, di sana bagus pompanya," kata dia.

Sementara itu, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, wilayah DKI Jakarta tidak berpeluang terjadi hujan besar pada awal Februari. Sebab, wilayah Indonesia bagian barat tengah terjadi Madden Julian Oscillation (MJO) fase kering, berbeda dengan wilayah tengah dan timur Indonesia.

Peluang curah hujan yang disebabkan awan tebal ditekan oleh MJO kering, sehingga curah hujan berkurang. 

"Untuk Jakarta, kami berpendapat tidak. Peluangnya (hujan besar) berkurang dibandingkan tahun lalu karena MJO kering ini. Tapi untuk wilayah Indonesia bagian tengah dan timur itu peluang nya besar," kata dia kepada Liputan6.com.

Siswanto menuturkan, meskipun potensi untuk terjadi banjir besar berkurang dengan adanya MJO fase kering ini sampai pertengahan Februari, akan tetapi, hujan dimungkinkan terjadi. Apalagi umumnya di Jakarta hujan terjadi setelah siang atau menjelang sore hari dan malam.

"Pada musim hujan dimungkinkan hujan yang pembentukannya dari dini hari ke pagi hari. Karena perubahan iklim, dari riset saya, ada kecenderungan hujan di pagi hari menguat dan jumlah curahnya semakin meningkat dari masa ke masa," kata dia.

Karena itu, peluang banjir tetap harus diwaspadai masyarakat di Jakarta. Ketika tanah sudah jenuh tidak mampu menyerap air karena hujan terus menerus dari sore jelang malam dan diteruskan lagi dini hari dan pagi hari. Selain itu, air hujan sudah tidak bisa lagi dialirkan ke laut.

Siswanto mengatakan, yang dikhawatirkan adalah ketika hujan besar di hulu seperti Bogor dan Depok dan di Jakarta pada waktu bersamaan. Kemudian diperparah dengan permukaan tanah Jakarta bagian utara ambles dan pasang bulan purnama. 

Banjir parah di DKI Jakarta pada awal Februari pernah terjadi 2007. Selain sistem drainase yang buruk, banjir dipicu oleh derasnya hujan ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur. Itu masih ditambah lagi air laut yang sedang pasang.

Akumulasi dari semua itu mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir. Itu artinya, lebih dari separoh dari wilayah Ibu Kota terpapar banjir.

Parahnya kondisi Jakarta bisa digambarkan dari kemacetan akibat banjir di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Di Jalan DI Panjaitan, sepeda motor yang tidak dapat melewati jalan itu berbalik arah dan naik ke jalan tol yang lebih tinggi.

Hujan deras juga menyebabkan tanggul jebol di Banjir Kanal Barat (BKB) persis di aliran Kali Sunter. Air meluber langsung ke perkantoran dan perumahan warga.

Tanggul BKB jebol Jumat dini hari, sementara Kali Sunter baru Jumat siang. Akibat tanggul jebol, kawasan Jatibaru-Tanah Abang dan Petamburan tergenang air hingga setinggi 2 meter.

Evakuasi warga di Petamburan mengalami kesulitan karena banyak permukiman terletak di antara gang sempit, bahkan tidak muat untuk dilewati perahu karet.

Banjir juga membuat sebagian jalur kereta api lumpuh. Lintasan kereta api yang menuju Stasiun Tanah Abang tidak berfungsi karena jalur rel di sekitar stasiun itu digenangi air luapan Sungai Ciliwung sekitar 50 sentimeter.

Sekitar 1.500 rumah di Jakarta Timur hanyut dan rusak akibat banjir. 

Hingga sepekan pascabanjir, 14 Februari 2007, 20 lampu lalu lintas di seluruh DKI Jakarta masih tidak berfungsi. Matinya lampu lalu lintas menyebabkan arus kendaraan di beberapa kawasan terganggu dan menimbulkan kemacetan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Banjir Kelapa Gading

Anak- anak bermain saat banjir menggenangi kawasan Rawa Terate, Cakung Jakarta, Rabu (30/1). Banjir yang mencapai ketinggian pinggang orang dewasa terjadi sejak dini hari. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sementara itu, hujan deras yang mengguyur Ibu Kota Rabu 30 Januari 2019 menggenangi sejumlah wilayah di Jakarta dengan ketinggian beragam. Seperti di Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan ketinggian genangan air sekitar 30-40 sentimeter.

Genangan air juga menyebabkan kemacetan parah di ruas Jalan Cakung Cilincing, Jakarta Utara. Pengendara yang datang dari arah Cakung, Jakarta Timur menuju Cilincing, terjebak kemacetan selama 2 jam untuk menuju tempat kerja.

Selain itu, permukiman warga Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara juga sempat terendam banjir.

Seperti ditayangkan Fokus Indosiar pada Kamis (31/1/2019), banjir sulit surut akibat tidak berfungsinya salah satu pompa di Pintu Air Muara Angke. Kondisi ini memaksa sejumlah pelajar sebuah sekolah swasta harus menenteng sepatu karena akses dan halaman sekolah mereka masih terendam banjir.

Untuk mengurangi debit air di pemukiman warga, petugas dari Suku Dinas Tata Air Pemkot Jakarta Utara dan PPSU Kelurahan Penjaringan terus melakukan upaya penyedotan. Sedikitnya empat pompa portable dikerahkan untuk membuang air ke laut dan Kali Adem yang berada di belakang permukiman warga.

Warga berharap pemerintah setempat segera memperbaiki pompa yang rusak karena kawasan ini sebelumnya tak pernah terendam banjir meski hujan turun dengan intensitas tinggi.

Kawasan pemukiman warga Kampung Petukangan, Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur, terendam banjir setinggi 40 centimeter.

Sementara itu, Direktur Proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Iwan Takwin, membantah proyek LRT sebagai penyebab banjir di ruas Jalan MT Haryono dan Kelapa Gading.

"Sebelum ada proyek pun Kelapa Gading itu sudah langganan banjir, langganan genangan. Semua tahulah Kelapa Gading itu memang rawan genangan," tutur Iwan saat dikonfirmasi, Jumat (1/2/2019).

Meski begitu, Iwan tetap akan memperhatikan lingkungan tempat LRT dibangun. Akan ada evaluasi dan perbaikan sejumlah saluran air di kawasan proyek.

"Kita buat lebih lebar agar lebih lancar. Kalau jalan, masih perbaikan, kalau malam ada pekerja yang sedang mengaspal. Semua kita perbaiki, terutama di area stasiun," ujar dia.

Kepala Dinas Tata Air Teguh Hendarwan menyebut bahwa pembangunan LRT kurang memperhatikan drainase sekitaran kawasan proyek.

"Nah, ini mereka yang melakukan pembangunan ini kurang memperhatikan drainase-drainase yang ada. Ini yang perlu jadi atensi pelaksana pekerjaan pembangunan," kata Teguh.

Warga menjemur pakaian saat banjir menggenangi kawasan Rawa Terate, Cakung Jakarta, Rabu (30/1). Ratusan rumah di RT 016/004 dan RT 010/005 Kelurahan Rawa Terate, terendam banjir sejak dini hari. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus berupaya menangani banjir yang terjadi di DKI Jakarta. Salah satunya banjir di Kali Sentiong, Jakarta Utara.

Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Hari Suprayogi mengatakan, pihaknya menyiapkan anggaran sebesar Rp 450 miliar untuk penanganan banjir di Kali Sentiong pada tahun ini.

Kementerian PUPR akan membangun sistem pompa 2 unit yakni Pompa Sungai Bendung Palembang dan Rencana Pompa Ancol-Sentiong Jakarta.

"Daerah Aliran Sungai (DAS), Sentiong sampingnya itu wilayah kelurahan Sunter dan termasuk menarik kali Item itu. Supaya kita tarik airnya kan itu mengendap di situ antara Sentiong sama Sunter dia nggak bisa kemana-mana kalau dengan itu Insyaallah nanti bisa ketarik," ujarnya di Jakarta, Rabu 30 Januari 2019.

Untuk pembangunan sistem pompa tersebut, pihaknya memperkirakan pembuatan sistem akan rampung pada tahun 2021. Beberapa kegiatan pengendalian banjir terus dilakukan oleh Kementerian PUPR pada tahun ini.

"Ini kan masih mau tender, targetnya tahun depan 2021. Ini sudah kita perpanjang sampai 2021 hanya khusus untuk menyelesaikan ini saja ini karena sisa-sisa," imbuh dia.

Adapun pada 2019, dilaksanakan kegiatan pengendalian banjir dengan biaya Rp 3,894 triliun. Itu antara lain berupa normalisasi sungai, kanal, tanggul banjir sepanjang 131,19 km dan pembangunan kolam retensi 1 buah di Nipa-Nipa, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros.

"Termasuk sistem 2 pompa ini. Untuk realisasi pengendalian banjir tahun 2018 sepanjang 868,81 km. Sedangkan realisasi pengendalian banjir sampai dengan tahun anggaran (TA) 2019 ditambah 131,19 km jadi total 1.000 km," pungkas dia.


Bencana di Wilayah Indonesia

Kepala Pusat data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, bencana banjir, longsor dan puting beliung masih menjadi ancaman bagi masyarakat selama bulan Februari 2019 ini. Curah hujan berintensitas tinggi masih akan terjadi di wilayah Indonesia.

BMKG, kata Sutopo, telah memprakirakan curah hujan tinggi selama bulan Februari 2019 akan terjadi di Aceh bagian barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Barat bagian timur laut, Kalimantan Tengah bagian utara, Sulawesi Tengah bagian selatan, Kalimantan Selatan bagian utara, Kalimantan Tenggara, Papua Barat dan Papua.

Dia menjelaskan, curah hujan deras dan kondisi tanah yang labil telah menyebabkan longsor di Desa Medeng dan Desa Sungkung II Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat pada 31/1/2019 pukul 21.30 WIB . Longsor menyebabkan 3 orang meninggal dunia, 2 orang hilang dan 11 rumah tertimbun.

"Permukiman warga berada di bawah lereng perbukitan saat longsor menimbun 11 rumah. Dari 3 korban meninggal dunia salah satunya adalah balita balita," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Jumat 1 Februari 2019.

Pencarian 2 orang hilang masih dilakukan oleh tim SAR gabungan dari BPBD, TNI, Polri, SKPD, relawan dan masyarakat. Akses ke lokasi cukup sulit, hanya dapat dilakukan menggunakan sepeda motor.

Sementara itu, hujan deras yang berlangsung selama 3 jam telah menyebabkan banjir di beberapa titik  di antaranya di Perumahan Citraland, Taman Puspa, Pakuwon, Bukit Palma di Kota Surabaya pada 31/1/2019 pukul 15.30 WIB. Banjir menyebabkan satu anak pelajar kelas 1 SMP YPPK Wiyung yang terseret arus masuk ke dalam gorong-gorong. 

Sutopo mengatakan, Januari dan Februari adalah puncak bencana banjir, longsor dan puting beliung. Selama bulan Januari 2019, telah terjadi kejadian bencana 366 yang menyebabkan 94 orang meninggal dan hilang, 149 orang luka-luka.

Selain itu, 88.613 orang mengungsi dan terdampak, 4.013 unit rumah rusak  meliputi 785 rusak berat, 570 rusak sedang, 2.658 rusak ringan, dan 146 fasilitas umum rusak.

"Lebih dari 98 persen bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi selama Januari 2019. Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sulawesi Selatan merupakan bencana yang banyak menimbulkan korban meninggal dan hilang," kata dia.

Sutopo mengimbau masyarakat selalu meningkatkan kewaspadaan menghadapi banjir, longsor dan puting beliung. Jangan melakukan aktivitas di sekitar sungai karena seringkali tiba-tiba terjadi peningkatan debit sungai karena di hulu hujan deras. Waspada terhadap longsor.

"Longsor penuh ketidakpastian seringkali terjadi tiba-tiba. Beberapa tanda potensi longsor di perbukitan atau lereng antara lain adanya retakan tanah, timbulnya amblesan, munculnya mata air atau rembesan air di lereng, pohon miring, atau air sumur atau kolam tiba-tiba menjadi keruh," kata Sutopo. 

Hujan deras yang mengguyur Kota Manado dan sekitarnya sejak subuh, Jumat (1/2/2019), menyebabkan hampir semua kawasan di Manado terendam banjir. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya