Liputan6.com, Jenewa - Kabar mengenai hadirnya figur separatis Papua dalam pertemuan PBB di Jenewa pekan lalu, memicu aksi saling balas tanggapan diplomatik antara pemerintah Vanuatu --yang digadang-gadang mensponsori kehadiran itu-- dengan pemerintah Indonesia.
Dalam sebuah tanggapan terbaru RI untuk membantah klaim Port Vila bahwa figur separatis itu bagian dari 'delegasi resmi di pertemuan PBB', Indonesia menjawab dengan kembali menegaskan bahwa sosok yang dimaksud bukan anggota delegasi resmi Vanuatu --jelas diplomat senior Indonesia untuk PBB di Jenewa pada Jumat 1 Februari 2019.
Sebelumnya, muncul pemberitaan di beberapa media asing bahwa Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda mengklaim menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan, yang berisi permintaan referendum kemerdekaan kepada Komisioner Tinggi Badan HAM PBB (Kantor KTHAM PBB), Michelle Bachelet di Jenewa pada Jumat 25 Februari 2019.
Dikabarkan bahwa Benny juga berbicara dengan Bachelet "terkait situasi di Nduga" --mereferensi kasus penembakan kelompok kriminal bersenjata terhadap puluhan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018-- dan meminta PBB mengirim tim HAM ke Bumi Cendrawasih.
Baca Juga
Advertisement
Namun, aktivitas Benny di badan PBB itu dilakukan dengan 'menumpang' delegasi Vanuatu yang dipanggil oleh Dewan HAM untuk membahas Universal Periodic Review (UPR) situasi hak asasi manusia di negara Pasifik itu.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, pada 31 Januari 2019, bereaksi dengan mengatakan bahwa Indonesia "telah mengirim nota diplomatik" yang memprotes langkah Vanuatu karena menyelundupkan Benny Wenda ke Dewan HAM PBB dan menyebut negara Pasifik itu "tidak menghormati kedaulatan Republik Indonesia karena mendukung gerakan separatis Papua."
Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk PBB di Jenewa juga telah merespons pada 29 Januari 2019. Dalam pernyataan tertulis, PTRI "mengecam keras Vanuatu" dan menyebut bahwa Port Vila "sengaja telah mengelabui KTHAM dengan melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu."
Namun, Menteri Luar Negeri Vanuatu, Ralph Regenvanu menolak berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh Indonesia.
Seperti dikutip dari DailyPost.vu pada 1 Februari 2019, Regenvanu mengklaim bahwa ketua ULMWP, Benny Wenda "secara resmi terakreditasi dalam delegasi Vanuatu ke pertemuan PBB di Jenewa" pada 25 Januari 2019 lalu.
Indonesia Menjawab Klaim Menlu Vanuatu
Menjawab klaim Menlu Ralph Regenvanu, Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib kembali menegaskan bahwa Ketua ULMWP Benny Wenda bukan bagian dari delegasi resmi Vanuatu.
"Tidak ada nama Benny Wenda dalam akreditasi resmi Dewan HAM PBB (untuk delegasi Vanuatu)," tegas Dubes Hasan dalam pernyataan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jumat (1/2/2019).
Guna mendukung bantahannya atas klaim Regenvanu, Dubes Hasan memberikan salinan "Susunan Delegasi UPR Vanuatu" sesuai "Dokumen Dewan HAM no. A/HRC/WG.6/32/L.7 tanggal 28 Januari 2019 tentang 'Report of the Working Group of the Universsal Periodic Review - Vanuatu'," seperti yang tertera pada foto di bawah ini.
Tidak ada nama Ketua ULMWP Benny Wenda dalam daftar tersebut.
Dubes Hasan menambahkan, "Karena pertemuan itu untuk membahas UPR Vanuatu sebagaimana disampaikan oleh KTHAM Michelle Bachelet, oleh karenanya beliau caught by surprise," dengan kehadiran Benny.
"KTHAM mendasarkan pada niat baik negara anggota PBB ketika akan bertemu dengan pihaknya, itu sebabnya mereka tidak pernah meneliti anggota delegasi yang menyertai," lanjut Watap RI untuk PBB di Jenewa itu.
Hasan juga menjelaskan bahwa "Kantor KTHAM tidak akan menindaklanjuti hal-hal yang berada di luar mandatnya --yang hanya terkait dengan isu-isu HAM," ujarnya mereferensi petisi referendum Papua yang Benny Wenda bawa.
Dubes RI itu juga mengafirmasi penilaian sejumlah media yang menyebut bahwa aksi Benny Wenda merupakan 'publicity stunt' semata. "Iya," jawab diplomat senior Indonesia itu dalam pesan singkat.
"Kantor KTHAM tidak akan menindaklanjuti, apalagi jika petisinya sama sekali tidak terkait dengan isu HAM ... Petisi itu (yang dibawa Benny) terkait isu referendum yang sama sekali di luar mandat Kantor KTHAM," Hasan kembali menegaskan.
Simak video pilihan berikut:
Menlu RI: Benny Wenda Manipulatif dan Fake News
Pada kesempatan terpisah, mengomentari lebih lanjut soal sikap Vanuatu dan sepak terjang Benny Wenda di Dewan HAM PBB pekan lalu, Menteri Luar Negeri RI Retno mengatakan bahwa Ketua ULMWP itu memiliki pola riwayat "manipulatif dan fake news".
"Saya tidak bicara karena itu klaim dia. Pola Benny Wenda itu biasanya manipulatif dan fake news, jadi kami tidak bisa mengatakan apapun mengenai 1,8 juta (penandatangan petisi)," kata Menlu Retno usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Kamis 31 Januari 2019, seperti dikutip dari Antara, Jumat 1 Januari 2019.
Menlu Retno juga tidak ingin berspekulasi mengenai petisi yang disebutnya tidak didasarkan pada maksud baik, karena diserahkan kepada KTHAM PBB Michelle Bachelet dalam pertemuan dengan delegasi Vanuatu.
Insiden tersebut bukan hanya mengejutkan Bachelet, tetapi juga menempatkannya pada situasi yang fait accompli (tidak dapat dihindari).
"Dari penjelasan KTHAM PBB, sudah jelas bahwa dia (Bachelet) merasa di-fait accompli dalam pertemuan tersebut, karena yang bersangkutan (Benny) berbicara mengenai Papua di akhir pertemuan," tambah Menlu Retno.
Bukan Pertama Kali
Ini bukan pertama kali Ketua ULMWP Benny Wenda mengklaim telah mengirim petisi seputar Papua ke PBB. Ia pernah melakukan hal serupa pada 2017 silam, mengirim petisi referendum kepada Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24).
Namun, komite membantah pernah menerima petisi dari ULMWP.
"Saya maupun Sekretariat Komite C-24 tidak pernah menerima secara formal maupun informal petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," kata Ketua Komite Rafael Ramirez dalam keterangan tertulis pada Jumat 29 September 2017, mereferensi surat kabar Inggris, The Guardian, yang merilis pemberitaan pertama tersebut dengan mengutip pernyataan Benny.
Ini juga bukan kali pertama Vanuatu menyuarakan seputar isu Papua di PBB. Salah satunya pada 2016 di Majelis Umum, ketika Vanuatu dan lima negara Pasifik melayangkan tuduhan pada Indonesia atas dugaan 'pelanggaran HAM' di Bumi Cendrawasih.
Kritik paling keras atas sikap Vanuatu datang dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada September 2018 di debat Sidang Majelis Umum Ke-73 PBB di Markas Besar PBB New York. Wapres mengatakan bahwa Port Vila telah "melakukan tindakan permusuhan" dan "melanggar prinsip-prinsip PBB" atas sikap mereka terhadap isu Papua di PBB.
Advertisement