Harga Emas Terjegal Membaiknya Data Tenaga Kerja AS

Harga emas memiliki kinerja yang baik minggu ini, melonjak hingga di atas level USD 1.300 per ons.

oleh Arthur Gideon diperbarui 02 Feb 2019, 08:31 WIB
Ilustrasi Logam Mulia (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga emas tergelincir pada perdagangan hari Jumlat karena terbebani oleh data tenaga kerja AS yang membaik. Tetapi jika dilihat secara mingguan, harga emas masih menunjukkan kenaikan.

Mengutip CNBC, Sabtu (2/2/2019), harga emas di pasar spot merosot 0,23 persen menjadi USD 1.317,56 per ons, setelah mencapai puncak tertinggi dalam sembilan bulan di angka USD 1.326,30 per ons pada Kamis.

Sedangkan harga emas berjangka AS turun USD 3,10 menjadi USD 1.322,10 per ons.

"Penurunan harga emas saat ini disebabkan oleh kombinasi sentimen soal laporan penggajian yang sangat kokoh serta data manufaktur AS yang kuat," kata Tai Wong, kepala perdagangan derivatif logam mulia di BMO.

"Emas memiliki kinerja yang baik minggu ini, melonjak di atas USD 1.300, jadi ada juga pengaruh dari aksi ambil untung di sini." tambah dia.

Para analis memperkirakan prospek harga emas secara menyeluruh masih akan tetap positif pada tahun ini.

Harga emas telah naik hampir 14 persen setelah menyentuh level terendah dalam satu setengah tahun pada Agustus 2018 lalu. kenaikan harga emas ini di tengah situasi pasar saham yang bergejolak dan harapan akan penghentian siklus kenaikan suku bunga Bank Sentral AS.

"Komentar Gubernur The Fed yang menegaskan kembali bahwa tidak akan ada kenaikan suku bunga (segera) akan membuat emas naik," kata Miguel Perez-Santalla, wakil presiden Heraeus Metal Management di New York.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


The Fed Lebih Sabar

Ilustrasi The Fed

Sebelumnya, Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) mempertahankan suku bunga acuan usai melakukan pertemuan dalam dua.

Suku bunga the Fed pun tetap di posisi 2,25-2,5 persen. The Federal Reserve juga akan bersabar untuk menaikkan bunga pinjaman. Akan tetapi, siklus pengetatan yang dimulai pada 2015 mungkin telah berakhir.

Meningkatnya ketidakpastian tentang prospek ekonomi Amerika Serikat (AS), pimpinan the Federal Reserve Jerome Powell menilai, untuk menaikkan suku bunga kemungkinan melemah. Bank sentral AS pun menurunkan ekspektasi sebelumnya untuk pengetatan lebih jauh.

Sikap the Fed juga lebih dovish atau tidak terlalu agresif untuk pelepasan aset. The Fed juga siap menyesuaikan rencananya berdasarkan perkembangan ekonomi dan keuangan. 

Kepada wartawan, Powell menuturkan, bank sentral mungkin berhenti akan memangkas neraca USD 4,1 triliun lebih cepat. Pihaknya akan tinggalkan lebih banyak aset dari pada yang diperkirakan sebelumnya.

"Situasi sekarang membutuhkan kesabaran (ini prospek kenaikan suku bunga lebih lanjut-red). Saya pikir itu hal yang benar dan saya merasa sangat kuat," ujar dia, seperti dikutip dari laman Aljazeera, Kamis (31/1/2019).

Secara keseluruhan, pengumuman neraca dan penyesuaian suku bunga dimaksudkan untuk menyampaikan fleksibilitas maksimum dari bank sentral yang dihantam dalam beberapa pekan terakhir oleh volatilitas pasar keuangan, tanda-tanda perlambatan ekonomi global dan penutupan sebagian pemerintah AS yang menganggu perekonomian.

"Ini berubah 180 derajat dari apa yang disiarkan oleh the Fed beberapa bulan lalu," ujar Kepala Ekonom Allianz, Mohammed El-Erian.

Usai pernyataan the Federal reserve, bursa saham AS menguat dengan indeks saham S&P 500 naik 1,5 persen. Sedangkan dolar AS dan imbal hasil obligasi jangka pendek turun karena investor mengukur kemungkinan kenaikan suku bunga lebih rendah dalam waktu dekat.

Pasar berharap suku bunga akan turun lagi. Kenaikan suku bunga diperkirakan hanya sekali pada 2019 dari perkiraan sebelumnya empat kali.

Bank sentral AS juga menyatakan kelanjutan pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan masih kemungkinan yang paling besar untuk mempengaruhi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya