Asosiasi Bakal Optimalkan Blockchain Cegah Fintech Nakal

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia berupaya keras mencegah dan menindaklanjti pelanggaran yang dimanfaatkan oleh pengemplang.

oleh Bawono Yadika diperbarui 04 Feb 2019, 15:26 WIB
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Liputan6.com, Jakarta - Maraknya tindak kejahatan dan pelanggaran pada bisnis industri keuangan seperti financial technology (fintech) atau teknologi keuangan membuat asosiasi berupaya keras mencegah sekaligus menindaklanjuti pelanggaran yang dimanfaatkan oleh pengemplang maupun oknum-oknum tertentu.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko menuturkan, selain melakukan sertifikasi untuk tim penagih utang pinjaman online, pihaknya akan mengoptimalkan keberadaan blockchain untuk bekerja sama dengan industri fintech.

"Kita juga ada project blacklist sharing dan kita sharing sebuah sistem tertentu ini pakai blockchain," ujar dia di Jakarta, Senin (4/2/2019).

Kendati begitu, dia belum memaparkan kapan kerja sama blockchain itu dapat direalisasikan. Sedangkan untuk waktu dekat, pihaknya mengaku kini tengah menggarap Pusat Data Fintech Lending (PUSDAFIL) bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Sekarang lagi on going. Jadi nanti OJK bisa narik data dari AFPI. Nanti sama OJK dilihat mana yang ada fraud ataupun blacklist," ujar dia.

Dia menambahkan, hal ini sesuai dengan POJK 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

"Jadi ini memang wujud inovasi yang mendukung risk management dan penilaian risiko kredit dari para anggotanya," pungkasnya.

 


AFPI Belum Terima Laporan dari LBH Jakarta

Pertemuan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) (Foto:Liputan6.com/Bawono Y)

Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku belum menerima laporan pinjaman online (fintech) nakal hingga hari ini dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah menuturkan, pihaknya belum dapat menyelesaikan kasus itu hingga memperoleh data-data pendukung dari LBH. Ia meminta agar LBH Jakarta seharusnya dapat mendengarkan pernyataan dari sisi penyelenggara.

"LBH sebagai lembaga kredibel harusnya fairness, adil mendengarkan dua sisi yaitu pengadu dan penyelanggara. Dengan tidak adanya data, kami melihat belum ada iktikad baik untuk menyelesaikan masalah," ujar dia di Jakarta Selatan, Senin 4 Februari 2019.

Ia menyayangkan, usaha baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi yang tidak disambut kooperatif oleh LBH sebagai pihak penerima laporan tersebut. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan, sebagai tindakan preventif, pihaknya telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) Fintech Peer to Peer (P2P) Lending (Pendanaan Online).

"Dengan demikian, kami harap ini akan melindungl konsumen, seperti diantaranya Iarangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman. Dalam kode etik itu,

AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari," ujar dia.

Selain itu, AFPI juga tengah mengembangkan pusat data Fintech, terutama untuk mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya