Liputan6.com, Jakarta - Utang pinjaman online kepada perusahaan financial technology (fintech) Peer to Peer (P2P) bisa meneror pihak debitur, terutama saat penagihan. Bahkan nasabah pun harus kehilangan mata pencahariannya.
Seperti yang diungkapkan Dona, salah seorang yang telah berkutat dengan perusahaan perusahaan fintech sejak April 2018.
Dona menceritakan, dia merupakan orang pertama yang mengadu kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tentang tindak teror perusahaan fintech atas dasar pinjaman online tak berbayar yang dilakukannya.
Baca Juga
Advertisement
Akibatnya, laporan tersebut berbuah pil pahit. Dona harus melepas pekerjaan yang digelutinya pasca sang bos memecatnya.
"Saya pelapor pertama ke LBH Jakarta. Saya kehilangan pekerjaan gara-gara satu aplikasi online yang meneror saya. Atasan tak mau mentoleransi karena saya memberikan namanya sebagai kontak darurat atau jaminan," ungkapnya di Jakarta, Senin (4/2/2019).
Sebagai tindak lanjut atas perkara itu, Dona kemudian coba menghubungi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meski tak berbuah hasil. "Sekalinya beri respons beri tanggapan yang basa basi dan tak menjawab," keluh dia.
Dia melanjutkan, masalah terus bergulir ketika perusahaan fintech yang bersangkutan mempermalukannya setelah mengirimkan pesan singkat ke banyak orang terdekat untuk menagih utang yang dimilikinya.
Menindaki kasus ini, ia memohon kepada OJK untuk ikut turun tangan menyelesaikan kenakalan perusahaan fintech terhadap pihak debitur yang berutang kepadanya.
"Saya cuman minta satu, keringanan. Karena mereka sering memberikan SMS fitnah. Jadi apapun itu OJK yang pegang peranan terpenting masalah fintech ini," ujar dia.
Asosiasi Belum Terima Data Aduan Konsumen
Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku belum menerima laporan pinjaman online (fintech) nakal hingga hari ini dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah menuturkan, pihaknya belum dapat menyelesaikan kasus itu hingga memperoleh data-data pendukung dari LBH. Ia meminta agar LBH Jakarta seharusnya dapat mendengarkan pernyataan dari sisi penyelenggara.
"LBH sebagai lembaga kredibel harusnya fairness, adil mendengarkan dua sisi yaitu pengadu dan penyelanggara. Dengan tidak adanya data, kami melihat belum ada iktikad baik untuk menyelesaikan masalah," ujar dia di Jakarta Selatan, Senin 4 Februari 2019.
Ia menyayangkan, usaha baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi yang tidak disambut kooperatif oleh LBH sebagai pihak penerima laporan tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan, sebagai tindakan preventif, pihaknya telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) Fintech Peer to Peer (P2P) Lending (Pendanaan Online).
"Dengan demikian, kami harap ini akan melindungl konsumen, seperti diantaranya Iarangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman. Dalam kode etik itu,
AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari," ujar dia.
Selain itu, AFPI juga tengah mengembangkan pusat data Fintech, terutama untuk mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement