Liputan6.com, Jakarta Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengungkit adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus teror utang pinjaman online yang dilakukan perusahaan fintech Peer to Peer (P2P) kepada pihak debitor.
Dia menyebutkan, ada dua kasus pelanggaran HAM saat pihak perwakilan perusahaan fintech melakukan penagihan kepada korban, yakni penyelewengan terhadap hak atas rasa aman dan privasi.
Baca Juga
Advertisement
"Semestinya ketika kita pinjam online itu seharusnya tak diketahui orang lain. Orang lain yang dihubungi juga seharusnya punya privasi untuk tak terlibat di dalamnya," ungkap dia di Jakarta, seperti dikutip Selasa (5/2/2019).
Ucapan itu ia lontarkan lantaran perusahaan fintech yang diwakili oleh penagih utang (debt collector) kerap mempermalukan debitor dengan mengirimkan pesan singkat ke banyak orang terdekat untuk menagih utang yang dimilikinya.
Seperti dirasakan Dona, salah seorang yang telah berkutat dengan perusahaan perusahaan fintech sejak April 2018. Dia harus menelan pil pahit akibat mencantumkan nama atasan sebagai salah satu kontak darurat yang bisa dihubungi debt collector.
"Saya pelapor pertama ke LBH Jakarta. Saya kehilangan pekerjaan gara-gara satu aplikasi online yang meneror saya. Atasan tak mau mentoleransi karena saya memberikan namanya sebagai kontak darurat atau jaminan," keluh dia.
Menindaki kasus ini, Dona memohon kepada OJK untuk ikut turun tangan menyelesaikan kenakalan perusahaan fintech terhadap pihak debitor yang berutang kepadanya.
"Saya cuma minta satu, keringanan. Karena mereka sering memberikan SMS fitnah. Jadi apapun itu OJK yang pegang peranan terpenting masalah fintech ini," ujar dia.
Teror Utang Pinjaman Online Hantui Korban
Utang pinjaman online kepada perusahaan financial technology (fintech) Peer to Peer (P2P) bisa meneror pihak debitur, terutama saat penagihan. Bahkan nasabah pun harus kehilangan mata pencahariannya.
Seperti yang diungkapkan Dona, salah seorang yang telah berkutat dengan perusahaan perusahaan fintech sejak April 2018.
Dona menceritakan, dia merupakan orang pertama yang mengadu kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tentang tindak teror perusahaan fintech atas dasar pinjaman online tak berbayar yang dilakukannya.
Baca Juga
Akibatnya, laporan tersebut berbuah pil pahit. Dona harus melepas pekerjaan yang digelutinya pasca sang bos memecatnya.
"Saya pelapor pertama ke LBH Jakarta. Saya kehilangan pekerjaan gara-gara satu aplikasi online yang meneror saya. Atasan tak mau mentoleransi karena saya memberikan namanya sebagai kontak darurat atau jaminan," ungkapnya di Jakarta, Senin (4/2/2019).
Sebagai tindak lanjut atas perkara itu, Dona kemudian coba menghubungi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meski tak berbuah hasil. "Sekalinya beri respons beri tanggapan yang basa basi dan tak menjawab," keluh dia.
Dia melanjutkan, masalah terus bergulir ketika perusahaan fintech yang bersangkutan mempermalukannya setelah mengirimkan pesan singkat ke banyak orang terdekat untuk menagih utang yang dimilikinya.
Menindaki kasus ini, ia memohon kepada OJK untuk ikut turun tangan menyelesaikan kenakalan perusahaan fintech terhadap pihak debitur yang berutang kepadanya.
"Saya cuman minta satu, keringanan. Karena mereka sering memberikan SMS fitnah. Jadi apapun itu OJK yang pegang peranan terpenting masalah fintech ini," ujar dia.
Advertisement