Menkumham Teken Perjanjian Kerja Sama Hukum dengan Swiss

Perjanjian ini sebagai upaya pemerintah dalam mengambil aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery yang disimpan di Swiss.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Feb 2019, 15:31 WIB
Menkumham Yasonna Laoly menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Konfederasi Swiss. (Foto: Liputan6.com/Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indonesia dengan Konfederasi Swiss. Kesepakatan ini ditandatangani di Bernerhof Bern, Swiss, pada Senin, 4 Februari 2019.

Perjanjian MLA RI-Swiss ini merupakan perjanjian MLA yang ke 10 yang telah ditandatangani oleh pemerintah RI. Sebelumnya sudah ada perjanian MLA dengan negara lain, di antaranya Australia, Hong Kong, China, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Sementara bagi Swiss, ini adalah perjanjian MLA yang ke 14 dengan negara non-Eropa.

"Perjanjian MLA RI-Swiss merupakan capaian kerjasama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa, dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting, mengingat Swiss merupakan financial center terbesar di Eropa," kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa (5/2/2019).

Penandatanganan perjanjian MLA, kata dia, sejalan dengan program Nawacita, dan arahan Presiden Jokowi.  Salah satunya tentang upaya pemerintah dalam mengambil aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery.

Yasonna mengungkapkan perjanjian ini terdiri dari 39 pasal. Antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.

Selain itu, Yasonna menambahkan perjanjian ini juga bisa memudahkan aparat penegak hukum untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan atau tax fraud

"Ini sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melalukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," ucap Yasonna.

Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

"Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini," ungkap Yasonna.

Yasonna menuturkan perjanjian MLA RI-Swiss ini terwujud melalui dua kali putaran dan yang pertama dilakukan di Bali pada 2015 lalu. Kedua pada 2017 di Bern, Swiss untuk menyelesaikan pembahasan pasal-pasal. Kedua perundingan tersebut dipimpin oleh Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional, Cahyo Rahadian Muzhar yang kini menjabat sebagai Dirjen AHU.

 


Berhadap Didukung DPR

Setelah penandatanganan perjanjian ini, Yasonna berharap dukungan penuh dari DPR agar  segera meratifikasi. Sehingga perjanjian ini bisa dimanfaatkan oleh para penegak hukum, dan instansi terkait lainnya.

Pada kesempatan ini, Yasonna juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Swiss yang telah membantu dan memudahkan serta menjadikan Perjanjian MLA ini terwujud.

Selain itu, ia juga mengampresiasi dukungan penuh dari Dubes Muliaman Hadad dan Dubes Linggawaty Hakim serta K/L, khususnya kepada para pejabat dari Otoritas Pusat Kemenkumham, Kemenlu, Kemenkeu, Kejagung, Kepolisian, KPK, dan PPATK yang telah bersama-sama mewujudkan dan menyaksikan penanda tanganan Perjanjian MLA RI-Swiss ini.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya