Liputan6.com, Jakarta - Sejarah kemerdekaan Indonesia tak bisa lepas dari sejarah pergerakan para pemudanya. Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com mencatat, tepat pada 5 Februari hari ini, merupakan hari kelahiran organisasi pergerakan mahasiswa, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
HMI berdiri pada 5 Februari 1947. Kendati saat itu Indonesia sudah dua tahun merdeka, namun situasinya, Belanda mulai mengancam kembali kedaulatan Republik.
Advertisement
HMI awalnya di prakarsai oleh seorang mahasiswa semester satu dari Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia), bernama Lafran Pane. Rencana pendirian HMI bermula saat Lafran mengadakan pembicaraan dengan teman-temannya mengenai gagasan membentuk organisasi mahasiswa bernafaskan islam.
Dan setelah mendapatkan cukup dukungan, pada bulan November 1946, dia mengundang para mahasiswa islam yang berada di Yogyakarta, untuk menghadiri rapat, guna membicarakan maksud tersebut.
Rapat-rapat ini dihadiri kurang lebih 30 orang mahasiswa yang di antaranya adalah anggota Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Rapat-rapat yang digelar tidak menghasilkan kesepakatan.
Namun Lafran Pane tak kehilangan akal, dia mengambil jalan keluar dengan mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir oleh Husein Yahya.
Pada tanggal 5 Februari 1947 (bertepatan dengan 14 Rabiulawal 1366 H), di salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam di Jalan Setyodiningratan 30 (sekarang Jalan Senopati) Yogyakarta, masuklah Lafran Pane yang langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat yang dalam prakatanya mengatakan, “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan yang diperlukan sudah beres.”
Atas persetujuan sejumlah kawan-kawannya yang hadir, pemuda asal Tapanuli Utara itu mengatakan HMI didirikan untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Adapun peserta rapat yang berhadir adalah Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan), Yusdi Ghozali; tokoh utama pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII), Muhammad Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi.
Di era Soekarno, tantangan HMI sebagai organisasi cukup besar, perang ideologis antara sesama organisasi kepemudaan saat itu cukup kuat. Musuh HMI bukan lagi mahasiswa sosialis, tapi mahasiswa komunis yang tergabung dalam Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
CGMI, yang merupakan bagian dari sayap organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), saat itu berusaha keras membubarkan HMI pada 1965.
Julius Pour dalam bukunya, Gerakan 30 September, mengatakan, Ketua CC PKI DN Aidit saat itu bahkan saat itu ikut membuat ‘panas’ para pemuda CGMI untuk membubarkan HMI. Dalam sebuah pidato di hadapan para aktivis CGMI, Aidit meminta CGMI membubarkan HMI bila pemerintah tidak membubarkan organisasi yang lekat dengan warna hijau hitam itu.
"Kalau pemerintah tidak mau membubarkan HMI, jangan kalian (CGMI) berteriak-teriak menuntut pemerintah pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri,” ancam Aidit saat itu.
"Dan kalau kalian tidak mampu (membubarkan HMI), lebih baik kalian jangan memakai celana, tukar dengan kain sarung perempuan," seloroh Aidit dalam buku karya Julius Pour itu.
Ancaman Aidit agar para aktivis CGMI ini membuat sejumlah tokoh muslim saat itu bereaksi keras. Salah satunya yaitu mantan Menteri RI Saifuddin Zuhri.
Saat itu, ayah dari Menteri Agama saat ini Lukman Hakim Saifuddin ini, menjadi orang yang paling gigih menolak rencana Soekarno membubarkan HMI atas desakan PKI.
Soal pembelaannya terhadap HMI yang akan dibubarkan Bung Karno, Saifuddin menuangkannya dalam buku berjudul, Berangkat dari Pesantren. Saat itu, Saifuddin mengaku dipanggil secara khusus oleh Soekarno untuk membahas rencana pembubaran HMI.
"Saya memberi tahu kepada saudara, selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI," cetus Bung Karno.
Kepada Saifuddin, Bung Karno mengaku mendapatkan berbagai laporan bahwa HMI melakukan tindakan anti revolusi dan bersikap reaksioner. Saifuddin mengaku kaget mendengar pernyataan Bung Karno tersebut.
Ancaman Mundur Saifuiddin Zuhri
Kepada Soekarno, dia lantas menyarankan agar sebaiknya para pengurus HMI dipanggil dan dinasehati langsung. Tidak perlu dibubarkan.
"Mohon dipertimbangkan sekali lagi! HMI itu anak-anak muda. Mereka sudah termakan oleh pidato-pidato bapak di banyak peristiwa," ujar Saifuddin.
Akhirnya setelah berdebat panjang, sikap Bung Karno melunak. "Wah… tidak sangka kalau saudara membela HMI, ya?" Presiden berbicara sambil pandangannya menerawang.
"Bukan membela HMI, Pak! Saya tidak ingin presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu presiden," kata Saifuddin mantap.
"Bukan berlebihan, tetapi saya berbuat menurut gewetan saya, perasaan hati saya!" timpal presiden.
Saifudin kemudian secara tegas menolak HMI dibubarkan. Dia pun mengancam akan mengundurkan diri dari jabatan Menteri Agama bila HMI dibubarkan.
"Kalau bapak hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan bapak. Maka tugasku sebagai pembantu bapak hanya sampai di sini."
"Oooooh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara membantu saya." Presiden Soekarno berkata sambil merekahkan senyuman di bibirnya.
"Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan, HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Syarief Thayeb harus membimbing HMI," kata presiden menyudahi pertemuan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement