Kampanye Jokowi Sekarang Lebih Ofensif? Ini Penjelasan Erick Thohir

Selama ini Jokowi selalu diam, cuek, dan bahkan enggan merespons serangan lawan politik dalam Pilpres 2019.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 06 Feb 2019, 10:35 WIB
Capres dan Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat Debat Capres Pilpres 2019 pertama di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). Debat perdana ini mengangkat tema hukum, hak asasi manusia, terorisme, dan korupsi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Erick Thohir membantah tudingan kubu Prabowo-Sandiaga yang mengatakan Jokowi tengah panik karena elektabilitas pasangan nomor urut 01 ini semakin kecil sehingga menggunakan strategi menyerang.

Padahal, selama ini Jokowi selalu diam, cuek, dan bahkan enggan merespons serangan lawan politik dalam Pilpres 2019.

Faktanya, kata Erick berdasarkan hasil riset lembaga survei resmi dan diakui KPU, selisih suara kedua pasangan minimal 20 persen. Hanya ada dua lembaga survei yang menyatakan selisihnya sudah berkurang. Yakni lembaga Media Survei Nasional (Median) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).

"Kita harus lihat track record. Kita harus berkaca pada lembaga survei yang asosiasinya masuk ke KPU. Jadi lembaga survei yang diakui KPU itu memberi data kedua paslon itu bedanya masih 20 persen," kata Erick di Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Sebagai pengingat, pada 2014, Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) memutuskan untuk mengeluarkan Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari keanggotaan Persepi.

Pangkal masalahnya, kedua lembaga tak bisa mempertanggungjawabkan publikasi hasil hitung cepat Pilpres 2014 bahwa Prabowo-Hatta unggul dengan selisih 1-2 persen suara.

Erick melanjutkan, kalaupun survei Median dan Puskaptis itu hendak diakui, jika dihitung rata-rata selisih elektabilitas kedua pasangan calon, masih di angka 15-18 persen dan dimenangkan Jokowi-KH Ma'ruf Amin. Sehingga aneh bila disebut Jokowi-Ma'ruf panik.

"Intinya, kalau dikatakan Jokowi panik karena survei, jawabannya tidak," kata Erick.

Sementara, soal terminologi ofensif, Erick mengaku bahwa dirinya pernah bicara bahwa Tim Jokowi-KH Ma'ruf sudah saatnya ofensif. Pernyataan dikeluarkan saat rapat koordinasi tim hukum TKN, yang dihadiri Yusril Ihza Mahendra.

Konteks ofensif itu adalah pihak Jokowi-Ma'ruf sering dilaporkan ke Bawaslu tanpa data akurat oleh pihak lawan.

"Jadi saya katakan, sudah selayaknya tim hukum kita ofensif melaporkan dengan fakta dan data," kata pria yang sukses memimpin penyelenggaran Asian Games 2018 di Jakarta itu.

Masalahnya kemudian, kata dia, pihak lawan langsung memelintir. Ketika tim hukum melakukan pelaporan berdasarkan data dan fakta yang ditindaklanjuti secara serius oleh aparat, langsung diisukan telah terjadi kriminalisasi.

"Mereka tak bisa membedakan kriminalisasi dengan penegakan atas fakta hukum. Ini perlu saya tegaskan supaya fair dulu ya," imbuhnya.

Jokowi sendiri, kata Erick dalam beberapa hari terakhir, hanya menyampaikan isi hatinya. Bahwa isu yang ada selama ini sebenarnya terbalik-balik. Ketika sebagai petahana Jokowi dituduh melakukan kriminalisasi, yang terjadi sebenarnya adalah Jokowi dizalimi.

Misalnya, kata dia, dengan dicap sebagai antek asing, PKI, antek aseng, dan lain-lain. Dan semua penzaliman itu sudah dimulai sejak 2014 dengan terbitnya Obor Rakyat.

"Jadi kalau sekarang beliau menjawab, itu lumrah. Sebab kalau tak menjawab, nanti fitnah itu dianggap benar. Anehnya, ketika beliau menjawab, dikatakan beliau panik dan ketakutan. Justru beliau sedang menyampaikan data dan fakta, yang selama ini diputarbalikkan," kata Erick.

Sementara, pernyataan Jokowi yang mengatakan soal konsultan asing, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan orang asing di belakang BPN seperti yang sudah tersebar di media sosial.

"Propaganda Rusia itu yang dimaksud adalah konsultan asing yang dipakai. Dan kita tahu, beliau lebih tahu, konsultannya bukan satu atau dua saja. Dari negara lain juga ada," beber Erick.

Tapi apakah hal itu takkan menjadi bumerang bagi Jokowi-Ma'ruf?

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Perhitungan Tim Jokowi

Menjawab itu, Erick menekankan bahwa yang dilakukan bukanlah menyerang, namun menyampaikan data dan fakta. Dan semuanya dilakukan dengan hitung-hitungan yang cermat.

Erick lalu membuka salah satu hasil survei di pascadebat pertama lalu. Hasilnya, debat tak mempengaruhi pemilih militan yang sudah ada. Data pemilih Jokowi dari 4 bulan lalu hingga usai debat pertama berada di angka 54 persenan. Begitupun pemilih Prabowo-Sandi di angka 31 persen. Sebanyak 82 persen pemilih menyatakan takkan mengubah lagi pilihannya.

Sementara, masih ada 18 persen pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voter). Data ini diambil dari Lingkaran Survei Indonesia.

Mereka inilah, kata Erick yang dicoba ditarik suaranya. Dan bagi Jokowi-Ma'ruf, caranya adalah dengan menyampaikan fakta dan data sebenarnya atas hal-hal yang selama ini diputarbalikkan.

"Ya soal isu dan fitnah PKI lah, antek asing dan antek aseng lah," ujarnya.

Selain itu, perlunya penekanan soal prestasi-prestasi Jokowi yang selama ini belum maksimal disampaikan. Semisal soal pembangunan infrastruktur, dirasakan masih kurang untuk menjelaskan bahwa pekerjaan itu punya imbas jangka pendek.

Berupa, lanjut dia, waktu perjalanan lebih efisien hingga menurunnya harga sembako akibat biaya transportasi menurun. Di luar imbas jangka pendek, ada imbas jangka panjang di mana berbagai industri akan tumbuh sejalan dengan pembangunan infrastruktur.

"Intinya menjelaskan ada manfaat jangka pendek dan ada jangka panjang. Sama seperti menanam pohon buah, kan tak ujug-ujug langsung berbuah. Ini yang bagaimana undecided voters perlu dijelaskan. Lalu selanjutnya bagaimana Pak Jokowi akan kembangkan sumber daya manusia kita," beber dia.


Lawan Hoaks

Ditegaskan Erick, pihaknya takkan berhenti menyampaikan hal itu seperti yang dilakukan oleh Jokowi selama data dan fakta yang ada terus diputarbalikan. Pihaknya akan menggunakan data sebanyak mungkin untuk mendukung semua materi yang ada.

"Kenapa pakai data? Contohnya begini. Paslon 02 menjanjikan gaji pegawai akan dinaikkan. Tapi di lain pihak, dia tak konsisten karena menurunkan pajak negara. Darimana untuk membiayainya? Apakah nanti negara kita kayak Venezuela atau Yunani yang krisis? Yunani krisis karena pemasukan dan pengeluaran tak seimbang. Makanya bicara harus pakai data kan," kata Erick.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya