Bappenas Dorong Bentuk Lembaga Pengelola Regulasi Antar Pemerintah

Bappenas mencatat salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah regulasi dan institusi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 06 Feb 2019, 14:15 WIB
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menkumham Yasonna Laoly, dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, Selasa (4/9). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Bambang Brodjonegoro mendorong, dibentuknya lembaga pengelola regulasi untuk mensinergikan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah.

Keberadaan lembaga tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Berdasarkan hasil kajian growth diagnostics Kementerian PPN/Bappenas, ia mencatat salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah regulasi dan institusi.

Beberapa indikatornya antara lain regulasi yang tumpang tindih dan relatif masih tertutup termasuk di pasar tenaga kerja, serta kualitas institusi yang masih rendah terutama pada isu koordinasi kebijakan.

Namun, Bambang menyoroti, menata regulasi yang tertib dan sederhana menjadi solusi sekaligus tantangan pada waktu bersamaan. Itu lantaran proses inventarisasi regulasi masih tersebar di empat Kementerian/Lembaga, yakni Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Sekretaris Kabinet.

"Melihat kewenangan regulasi yang tersebar di keempat Kementerian/Lembaga itu memiliki potensi disharmoni yang tinggi. Pemikiran adanya suatu lembaga pengelola regulasi yang akan mengintegrasikan fungsi penyusunan dan pembentukan peraturan, serta memperkuat kewenangannya menjadi suatu keniscayaan," tegasnya di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

"Lembaga ini akan fokus pada penyusunan dan pembentukan regulasi yang sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional," dia menambahkan.

Bambang mengatakan, sinergi regulasi dan kebijakan ini penting untuk mengurangi inefisiensi anggaran pembangunan nasional melalui penyusunan regulasi yang terukur.

"Klasifikasi regulasi penting untuk melihat pemetaan Kementerian/Lembaga yang terlibat pada sektor pembangunan dan mengawal keterpaduan regulasi di tingkat pusat dan daerah,” ujar dia.

"Sementara keterkaitan antar regulasi bisa jadi landasan awal untuk meminimalkan potensi tumpang-tindih kewenangan yang berakibat pada output perekonomian nasional dan penurunan produktivitas usaha," dia menambahkan.

 


Revisi DNI Perlu Diikuti Perbaikan Birokrasi Memulai Bisnis

Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Darmin Nasution, masih kecil lantaran belum ada orientasi ekspor dari industri dalam negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, rencana pemerintah untuk merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) dinilai tidak akan efektif tanpa ada perbaikan birokrasi dalam hal memulai bisnis di dalam negeri.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman mengatakan, pemerintah perlu reformasi terutama dalam aspek untuk kemudahan memulai bisnis di negeri sendiri. 

"Perbaikan birokrasi dalam fase kemudahan memulai bisnis penting karena fase ini mencerminkan wajah bisnis di Indonesia. Perbaikan birokrasi ini juga krusial untuk mendukung efektivitas terobosan lain yang dilakukan pemerintah,” tutur dia dalam keterangan resmi, Rabu 21 November 2018.

Bank Dunia atau World Bank Group melaporkan iklim berusaha atau berbisnis Indonesia kini tercatat semakin membaik. Indikator perbaikan tersebut ditunjukan dari kemudahan memperoleh pinjaman dan juga pendaftaran untuk properti. Namun, peringkat kemudahan berusaha Indonesia tercatat turun dari posisi 72 menjadi 73.

Itu disebabkan perbaikan (improvements) RI masih kalah besar jika dibandingkan negara-negara tetangga atau negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Adapun jika dilihat berdasarkan EoDB Ranking 2019, posisi Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam di peringkat ke-69, Singapura posisi ke-2, Malaysia di posisi 15, dan Thailand yang menempati posisi ke-27.

"Untuk memulai bisnis di Indonesia, dibutuhkan waktu kurang lebih 23 hari untuk menyelesaikan berbagai tahapan birokrasi yang ada. Pencapaian ini relatif tertinggal dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Thailand  yang hanya 5 hari," ujar dia.

Ia juga menganjurkan, langkah ke depan yang dapat dilakukan pemerintah ialah mengoptimalkan sistem Online Single Submission (OSS) yang sudah ada. Itu dengan mensinkronisasi peraturan baik di tingkat pusat dan daerah.

 Ilman menyebutkan, pemerintah juga perlu memberikan pendampingan dan supervisi kepada pemerintah daerah dalam penerapan kebijakan OSS tersebut.

"Jadi di bukanya peluang investasi yang dilakukan dengan merevisi DNI juga harus diiringi dengan kemudahan dalam melakukan bisnisnya. Sehingga pada akhirnya, investasi asing langsung atau foreign direct investment dapat terealisasi lebih cepat dan membukakan lapangan pekerjaan," kata dia. (Bawono Y)

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya