Jenderal AS: Pemerintah Afghanistan Harus Ikut Dialog Damai dengan Taliban

Pemerintah Afghanistan harus dilibatkan dalam perundingan damai antara AS dan Taliban, kata seorang jenderal top militer AS pada Selasa 5 Januari 2019.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 06 Feb 2019, 16:00 WIB
Jenderal Joseph Vottel, Komandan US Central Command (USCENTCOM) komando militer AS yang bertanggungjawab untuk operasi militer Amerika di Timur Tengah (AFP Photo)

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintah Afghanistan harus dilibatkan dalam perundingan damai dengan Taliban, kata seorang jenderal top militer Amerika Serikat pada Selasa 5 Januari 2019.

Proses selama berbulan-bulan AS untuk terlibat dalam dialog dengan Taliban seolah-olah juga bertujuan guna meyakinkan mereka agar mau berbicara dengan Kabul. Tetapi, Taliban telah lama melihat Presiden Ashraf Ghani dan pemerintahannya sebagai boneka yang didukung AS.

"Pada akhirnya, kita perlu melakukan diskusi Taliban-Afghanistan," kata Jenderal Joseph Votel, kepala Komando Sentral AS (USCENTCOMM) yang bertanggungjawab atas operasi militer di Timur Tengah, kepada anggota Kongres AS, seperti dikutip dari France24, Rabu (6/2/2019).

"Hanya mereka yang akan bisa menyelesaikan masalah utama dalam perselisihan (di Afghanistan)," lanjutnya.

Pembicaraan damai antara AS - Taliban jilid pertama telah berlangsung pada akhir Januari 2019 lalu. AS dipimpin oleh utusan khusus-nya, Zalmay Khalilzad.

Dialog itu mengemuka ketika Presiden Donald Trump berusaha menarik pasukan AS dari Afghanistan.

"Saya akan menggambarkan titik di mana kita berada dalam proses itu: yakni, sangat, sangat awal dalam (keseluruhan) proses," kata Votel.

"Khalilzad sedang berusaha menciptakan kerangka kerja agar kita dapat bergerak maju dengan diskusi. Itu pasti akan melibatkan pemerintah Afghanistan," lanjutnya.

Ghani mengatakan pada Selasa 5 Februari 2019 di Twitter bahwa ia telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang "menggarisbawahi pentingnya memastikan sentralitas pemerintah Afghanistan dalam proses perdamaian."

Sementara itu, Taliban bertemu dengan para utusan yang banyak di antara mereka memiliki kepentingan bersaing di Afghanistan.

Pada Selasa 5 Januari 2019 waktu lokal di Moskow, Taliban telah bertemu dengan politisi non-pemerintah Afghanistan dan menuntut konstitusi baru untuk Afghanistan sambil menjanjikan "sistem Islam inklusif."

Sementara tidak ada perwakilan dari pemerintah yang diundang, beberapa saingan utama Ghani --termasuk mantan presiden Hamid Karzai-- ada di sana.

 

Simak video pilihan berikut:

 


Taliban Bertemu Oposisi Pemerintah di Moskow, Presiden Ghani Meradang

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov (dua dari kanan) menjadi mediator dalam pertemuan antara pejabat Taliban dengan para politikus Afghanistan di Moskow (AP/Pavel Golovkin)

Sementara itu, Taliban memulai pertemuan yang jarang terjadi dengan para politikus utama Afghanistan --termasuk di antaranya wanita-- pada Selasa 5 Februari di Moskow, di mana saingan Presiden Ashraf Ghani menyerukan pemerintahan sementara ketika mereka bernegosiasi tanpa dirinya.

Dalam pertemuan langka itu, Taliban menguraikan visi mereka untuk Afghanistan, termasuk di antaranya aturan seputar wanita dan adopsi konstitusi Islam, demikian sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Rabu (6/2/2019).

Menariknya, Taliban berinisiatif untuk memimpin doa dan jamuan makan siang dengan para pejabat tinggi Afghanistan --beberapa musuh bebuyutan--sebelum memulai agenda pembicaraan.

Perundingan di meja bundar itu, yang termasuk membahas hak-hak wanita Afghanistan, terjadi sepekan setelah pemberontak mengadakan pembicaraan dengan para perunding asal Amerika Serikat (AS) di Doha, Qatar, untuk mengakhiri perang 17 tahun.

Pembicaraan Doha dan Moskow, meskipun sepenuhnya terpisah, keduanya mengecualikan pemerintah di Kabul, di mana Ghani telah menyatakan kemarahannya karena semakin tersisih dari negosiasi perdamaian utama.

"Pertemuan di Rusia tidak lebih dari fantasi. Tidak ada yang bisa memutuskan tanpa persetujuan rakyat Afghanistan," kata Ghani kepada kantor berita lokal, TOLOnews, Selasa malam.

"Mereka yang berkumpul di Moskow tidak memiliki otoritas eksekutif. Mereka dapat mengatakan apa yang mereka inginkan," lanjutnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya