Liputan6.com, Baghdad - Salah seorang ulama paling senior di Irak menyatakan dukungan atas kritik terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang berencana tetap mempertahankan keberadaan pasukannya untuk memantau Iran.
Ulama Besar Ayatollah Ali al-Sistani mengatakan Irak bercita-cita untuk memiliki "hubungan yang baik dan seimbang" dengan semua tetangganya," berdasarkan pada kepentingan bersama dan tanpa intervensi dalam urusan internal".
"Irak menolak menjadi basis militer asing yang merugikan negara lain", katanya dalam pertemuan dengan utusan PBB untuk Irak, Jeanine Hennis-Plasschaert, di Kota Najaf, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (7/2/2019).
Baca Juga
Advertisement
Baik presiden dan perdana menteri Irak telah bereaksi keras pekan ini terhadap rencana Trump, yang menyatakan pasukan AS akan tetap berada di pangkalan Irak, sehingga Washington dapat "mengawasi Iran".
Pernyataan Trump itu tampaknya mengacu pada pangkalan udara Al-Asad di Irak barat, tempat di mana ia melakukan kunjungan singkat pada Desember lalu. Meski menampung para tentara AS, namun sejatinya seluruh area pangkalan tersebut merupakan hak milik militer Irak.
Rencana Donald Trump itu membuat marah banyak politikus Irak dan faksi-faksi yang didukung Iran, di mana semakin menambah kekhawatiran tentang risiko campur tangan AS di wilayah terkait, terutama setelah menarik pasukannya dari Suriah.
Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi, dalam konferensi pers mingguannya pada Selasa malam, mengingatkan Trump untuk tidak membuka pangkalan AS di Irak. Dia juga menolak tegas gagasan negaranya sebagai landasan memerangi negara tetangga.
"Saya minta Presiden Trump menarik kembali pernyataannya," tegasnya.
Trump Tidak Meminta Izin
Senada dengan hal tersebut, Presiden Irak Barham Saleh mengatakan pada Senin 4 Februari, bahwa Trump tidak meminta izin untuk menggunakan wilayah Irak sebagai titik pantau ke Iran.
Dia menambahkan bahwa konstitusi Irak penggunaan negara itu sebagai pangkalan untuk mengancam kepentingan atau keamanan negara-negara tetangga.
"Jangan terlalu membebani Irak dengan masalah Anda sendiri," kata Saleh.
Simak video pilihan berikut:
Kembali Bergabung pada 2014
Pasukan AS menarik diri dari Irak pada 2011, tetapi kembali lagi pada 2014 atas undangan pemerintah untuk membantu memerangi ISIS.
Sebagaimana diketahui, kala itu, ISIS berhasil merebut wilayah yang cukup luas di utara dan barat Irak, termasuk kota terbesar kedua di sana, Mosul.
Sebuah koalisi yang dipimpin AS memberikan dukungan udara ketika pasukan nasional Irak bergabung kembali, mengusir ISIS dalam operasi perang tiga tahun yang mahal.
Sekarang, setelah mengalahkan paar militan ISIS di benteng-benteng terakhir mereka, para politikus Irak dan pemimpin milisi semakin banyak berbicara menentang berlanjutnya kehadiran pasukan AS.
Beberapa legislator sedang mengerjakan rancangan undang-undang yang menyerukan penarikan lebih dari 5.000 tentara AS dari negara itu.
Advertisement