Lawan Stigma agar Penderita Kusta Mau Berobat

Stigma negatif membuat penderita kusta enggan berobat karena takut dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan sosialnya.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 09 Feb 2019, 13:00 WIB
Penderita kusta Nguyen Van Phuc menunjukkan tangannya di kompleks RS Van Mon Leprosy, Thai Binh, Vietnam, Kamis (10/1). Penderita kusta di Vietnam terus menurun berkat peningkatan kesehatan, kebersihan, dan kesadaran. (Manan Vatsyayana/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Tran Huu Hoa pernah merasa takut, putus asa, dan nyaris bunuh diri setelah didiagnosis kusta pada tahun 1958. Ketakutan lainnya adalah ia tidak akan pernah bisa lagi bekerja dan menikah. Pada zaman itu, penderita kusta sepenuhnya dijauhi dari lingkungan masyarakat Vietnam.

Seiring waktu bergulir, Hoa tidak dapat membayangkan ternyata ia menemukan kehidupan baru di rumah sakit kusta, yang menjadi tempat tinggalnya selama 61 tahun. Rumah sakit kusta tersebut berlokasi di sebuah kompleks di provinsi utara Thai Binh, Vietnam. Ia bertemu istrinya yang bekerja sebagai bos serikat pekerja dan mengasuh anak-anak miskin.

"Ada sekitar 2.000 penderita kusta di sini pada waktu itu. Sebagian besar orang muda. Suasana itu sangat menyenangkan karena kami mulai membentuk persatuan remaja," kata pria berusia 80 tahun itu sambil duduk di tempat tidurnya bersama sang istri, Teo yang berusia 54 tahun.

Melansir laman Channel News Asia, saat ini hanya ada 190 pasien di rumah sakit tersebut. Seluruh pasien sembuh, tetapi hidup dengan tubuh cacat, yang disebabkan kusta. Banyak yang berjalan dengan kaki palsu. Penderita lainnya seperti Hoa telah kehilangan jari.

Bahkan beberapa penderita kusta juga sangat cacat sehingga mereka menghabiskan sepanjang hari dengan membungkuk di tempat tidur. Tubuh mereka ditutupi dengan selimut tebal untuk menjaga dari udara dingin. Sepenggal kisah penyintas kusta di Vietnam ini menyiratkan, mereka berhasil melawan stigma diri sendiri dan sosial pada waktu.

Mereka akhirnya bersedia menjalani pengobatan kusta sampai sembuh meski hidup dengan tubuh cacat. Melawan stigma yang melekat termasuk kendala upaya pengobatan kusta, yang membuat penderita kusta takut berobat. Kondisi itu dijelaskan lebih lanjut Ahli Eliminasi Kusta Sri Linuwih Menaldi  dalam konferensi pers "Stop Diskriminasi: Ayo Sukseskan Eliminasi Kusta."  

“Ada dua jenis stigma, stigma diri sendiri dan sosial. Stigma diri sendiri itu ketakutan sendiri, misalnya enggak mau kasih tahun soal kusta yang dideritanya ke pasangan atau keluarga. Kalau dikasih tahu bisa saja akan terjadi perceraian. Stigma sosial bisa berupa dikucilkan dari lingkungan masyarakat,” jelas Linuwih saat ditemui di Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, ditulis Jumat, 8 Februari 2019.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:


Stigma, diskriminasi, dan frustasi

Penderita kusta duduk di ranjang kompleks RS Van Mon Leprosy, Thai Binh, Vietnam, Minggu (20/1). RS Van Mon Leprosy pernah menangani hingga 4.000 pasien dalam setahun. (Manan Vatsyayana/AFP)

Linuwih yang juga menemui pasien-pasien kusta di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Maluku dan Papua menyebut, adanya stigma menjadi kendala pengobatan kusta. Ada pemikiran masyarakat yang derita kusta, andaikan mereka positif kena kusta bisa saja dikucilkan dari keluarga.

“Jadi, sering juga kalau ada yang positif kusta, dia biasanya memilih untuk mengucilkan diri lebih dulu. Ketika kita tanya, misalnya, kenapa tinggal sendiri? Biasanya sih mereka baru berani cerita. Penyebabnya ya karena kusta yang diidapnya,” ujar dia.

Dari laporan Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta, yang dipublikasikan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Tahun 2018, stigma adalah pandangan negatif dan perlakuan diskriminasi terhadap penderita kusta sehingga menghambat penderita kusta untuk menikmati hidup yang normal layaknya orang-orang pada umumnya. Hambatan stigma pun membuat penderita kusta enggan mencari pengobatan.

“Mereka jadi malu buat berobat. Takut ketahuan diam-diam berobat. Lalu ditanya sama keluarganya, ‘Sakit apa?’ Apalagi mengobati kusta bukan dalam jangka waktu sebentar. Minum obat kusta bisa 6 bulan (kusta kering) dan 12 bulan (kusta basah),” ungkap Linuwih, yang juga sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin RS Cipto Mangunkusuma Jakarta.

Kusta kering berupa kulit kering bersisik, sedangkan kusta basah berupa kulit yang basah sehingga tampak mengkilap. Adanya stigma sosial berujung pada tindak perilaku diskriminastif. Penderita kusta bisa saja kesulitan mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan pasangan hidup. Secara psikologis akan membuat penderita kusta frustasi, bahkan berupaya bunuh diri.

Kendala lain yang juga terjadi berupa penderita kusta putus pengobatan. Artinya, penderita tidak lagi minum obat kusta. Obat tidak ditebus lagi di puskesmas. Penderita juga tidak datang berkonsultasi ke fasilitas kesehatan terdekat. Padahal, kusta harus dipantau secara teratur. Hal ini bertujuan mengetahui perkembangan kondisi penderita, apakah obat kusta efektif melawan bakteri kusta atau tidak.

“Ada juga kendala soal obat. Sulit mendeteksi penderita yang putus obat. Apalagi kalau di daerah endemis kusta, yang terpencil, jarak tempat tinggal dan fasilitas kesehatan sangat jauh. Mereka juga enggak mau ketahuan berobat penyakit kusta dalam keluarganya,” Linuwih melanjutkan.

Untuk menghilangkan stigma kusta agar mau berobat, penyebarluasan informasi tentang kusta bisa dilakukan. Kusta dapat disembuhkan bila terdeteksi dini. Dalam kasus parah, seperti jari membengkok, bakteri kusta dapat hilang, tapi kecacatan mungkin tak bisa dihilangkan.

“Biasanya deteksi skrining (dengan pengecekan bercak pada kulit). Kalau orang dewasa, skrining itu pas mereka baru merasakan sakit dan datang berobat. Petugas kesehatan nanti akan memanggil anggota keluarganya (untuk skrining juga), apakah ada penularan atau tidak,” Linuwih menambahkan.


Penyebaran bakteri resisten

Penderita kusta Nguyen Thi Teo (kanan) dan istri Tran Huu Hoa (kiri) duduk di ranjang kompleks RS Van Mon Leprosy, Thai Binh, Vietnam, Kamis (10/1). Penderita kusta di Vietnam turun dari tahun ke tahun. (Manan Vatsyayana/AFP)

Penderita kusta yang enggan berobat. Terlebih lagi penderita yang tidak menjalani pengobatan sampai tuntas akan menimbulkan risiko berbahaya bagi orang di sekitarnya. Mereka berpotensi menyebarkan bakteri kusta kepada orang lain. Bagi orang lain dengan kekebalan tubuh rendah, bakteri akan mudah menginfeksi. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan RI, Wiendra Waworuntu menyampaikan, penularan bakteri kusta terjadi melalui percikan saluran pernapasan. Penyebaran bakteri pun melalui udara.

Yang paling membahayakan,  menurut Linuwih, penderita bisa saja menularkan bakteri kusta yang resisten. Dalam hal ini, bakteri kusta tidak mempan terhadap obat-obatan kusta biasa yang diberikan dengan hanya satu obat antileprosy (monoterapi). Obat ini akan menghasilkan pengembangan resistensi obat. Kombinasi obat multi drugs therapy (MDR) perlu diterapkan.

Kombinasi obat yang digunakan dalam MDT tergantung pada klasifikasi penyakit. Organisasi Kesehatan Dunia/WHO) merekomendasikan, rifampicin, obat antileprosy sebagai pengobatan kedua jenis kusta (kusta kering dan basah). Untuk pengobatan pasien dengan kusta multibasiler, WHO merekomendasikan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan dapson. Pasien dengan lepra paucibacillary, kombinasi obat berupa rifampisin dan dapson.   

“Untuk bakteri yang resisten (terhadap obat kusta biasa), masih bisa diobati dengan antibakteri. Itu masih mungkin diberikan di rumah sakit. Tapi harus dipantau terus kondisi pasien. Ya, penderita kusta yang resisten dapat menularkan bakteri resisten ke orang lain. Jadi, enggak mempan dengan pengobatan biasa,” papar Linuwih.

Penyebab bakteri kusta bisa resisten karena penderita putus minum obat. Ada rasa bosan juga kalau disuruh minum obat selama 12 bulan. Siapa sih yang enggak bosan, tambah Linuwih. Dalam beberapa kasus pengobatan yang terputus juga dikarenakan kehadiran obat kusta yang terlambat datang lama.

Contohnya di beberapa pulau terpencil di Maluku, yang mana obat harus dikirim melalui laut. Pengiriman obat dilakukan dari pulau yang lebih besar ke pulau-pulau kecil. Di pulau-pulau kecil itu, cerita Linuwih, banyak penderita kusta yang menjalani pengobatan. Bahkan untuk mendapatkan perawatan kusta yang lebih baik, mereka harus menyeberang ke pulau besar.

“Nah, obat-obat yang akan dikirim ke pulau-pulau kecil juga ada kendala. Enggak bisa selalu tepat waktu, obat datang ke sana. Karena untuk menyeberang saja, ombaknya sangat besar. Paling kalau ada acara-acara tertentu saja di pulau kecil itu, ya sekalian kirim obat kustanya,” lanjutnya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya