Penyampaian Laporan Pajak Wajib Gunakan e-Filing

DJP mengimbau wajib pajak untuk dapat menyampaikan SPT lebih awal agar lebih nyaman, sekaligus menghindari risiko terlambat atau lupa lapor.

oleh Arthur Gideon diperbarui 08 Feb 2019, 11:36 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018, dan menggantikan tujuh ketentuan Dirjen Pajak sebelumnya terkait penyampaian SPT (Surat Pemberitahuan).

Salah satu pokok perubahan penting dalam PER-02 ini adalah mengenai kewajiban penyampaian SPT melalui e-Filing untuk meringankan beban administrasi wajib pajak sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kemudahan berusaha.

“Berdasarkan PER-02 ini Wajib Pajak Badan yang terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar wajib menyampaikan SPT Tahunan, SPT Masa PPh Pasal 21 / 26, serta SPT Masa PPN melalui e-Filing,” bunyi siaran pers Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang dikutip dari laman Setkab, Jumat (8/2/2019).

Selain bagi para Wajib Pajak tersebut, menurut siaran pers itu, kewajiban penyampaian SPT melalui e-Filing juga berlaku bagi Wajib Pajak tertentu antara lain:

(1) Wajib Pajak yang melakukan pemotongan PPh (Pajak Penghasilan) terhadap lebih dari 20 karyawan, wajib menggunakan e-Filing untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 / 26; dan

(2) Pengusaha Kena Pajak, wajib menggunakan e-Filing untuk menyampaikan SPT Masa PPN.

Apabila Wajib Pajak yang diwajibkan menyampaikan SPT melalui e-Filing ternyata menggunakan cara lain seperti menyampaikan secara langsung atau mengirimkan via pos, menurut siaran pers DJP ini, SPT yang disampaikan tidak dapat diterima, dan harus dikembalikan kepada Wajib Pajak.

 


Lapor SPT: Lebih Awal, Lebih Nyaman

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Lewat siaran pers itu, DJP mengimbau wajib pajak untuk dapat menyampaikan SPT lebih awal agar lebih nyaman, sekaligus menghindari risiko terlambat atau lupa lapor.

“Untuk kemudahan wajib pajak, DJP menyediakan fasilitas e-Filing yang dapat digunakan secara online, di mana saja dan kapan saja selama terhubung ke jaringan internet. Selain e-Filing, tersedia pula fasilitas e-Form yang dapat diisi dan disimpan secara offline dan setelah selesai diunggah ke sistem DJP,” bunyi siaran pers itu.

Untuk mendapatkan salinan PER-02 ini dan informasi lain seputar perpajakan serta berbagai program dan layanan yang disediakan DJP, kunjungi www.pajak.go.id atau hubungi Kring Pajak di 1500 200.


Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Strategi DJP Capai Target Penerimaan Pajak 2019

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun. 

Kata dia, target tersebut meningkat sebesar 20,1 persen dari realisasi penerimaan pajak pada 2018.

Kendati begitu, target penerimaan pajak pada 2019, menurut dia, cukup menantang untuk dicapai melihat beberapa sentimen ekonomi global yang tengah terjadi.

"Target penerimaan pajak tahun ini cukup menantang mengingat pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,3 persen dan inflasi 3,5 persen, tetapi tentu kami upayakan yang terbaik," imbuhnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Jumat 25 Januari 2019. 

Dia menambahkan, ditjen pajak telah mengupayakan perbaikan-perbaikan khusus guna mencapai target penerimaan pajak 2019 tersebut. Itu antara lain seperti peningkatan mutu manajemen sehingga objek pajak yang diawasi tepat sasaran.

"Kami kerjakan mulai dari pelayanan, itu akan terus kita tingkatkan di dalam edukasi penyuluhan perpajakan," ujarnya.

Tak hanya itu, beberapa lembaga telah ditjen pajak gandeng untuk meningkatkan pengawasan seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) hingga yang terbaru pada hari ini adalah Bursa Efek Indonesia (BEI). 

"Kita kerja sama dengan beberapa pihak untuk bantu dalam pelaksanaan transparansi," kata dia.

Adapun sebagai informasi saja, sepanjang 2018, Ditjen Pajak mengumpulkan penerimaan pajaksebanyak Rp 1.315,93 triliun. Angka itu masih belum memenuhi target dalam APBN 2018 yakni mencapai 92,41 persen dari target sebesar Rp 1.424 triliun.


Pengamat: Pemerintah Perlu Cara Baru Tarik Pajak Selebgram

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Kepala Peneliti Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengatakan, memang sulit untuk memetakan pajak bagi selebgram atau selebritas instagram.

Dia menjelaskan, masalah pajak bagi selebgram tersebut bahkan turut menjadi tantangan bagi negara-negara besar di dunia. Negara itu terutama yang termasuk dalam anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.

"Selebgram atau influencer sebenarnya merupakan pihak yang memperoleh tambahan kemampuan ekonomis dari adanya interaksi antar user participants dalam suatu platform digital. Di banyak negara pemajakan atas mereka memang jadi tantangan otoritas pajak," ucapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis 10 Januari 2019.

Oleh sebab itu, dia mengungkapkan, pada akhirnya, perpajakan yang mesti dikenakan bagi selebgram ialah tetap merujuk pada sistem pajak yang berlaku secara umum.

"Oleh OECD digital economy bahkan dijuluki the new shadow economy karena sulit untuk dipetakan dan diidentifikasi aliran sumber penghasilannya. Pemajakan atas selebgram tetap harus merujuk kepada sistem pajak yang berlaku secara umum," ujar dia.

Kendati demikian, dia tidak menampik mungkin memang dibutuhkan sistem administrasi khusus yang mengatur pendapatan tambahan yang diperoleh oleh selebgram itu.

"Dibutuhkan suatu terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhan. Misalkan adanya penggalian informasi baik dari pihak yang meng-endorse mereka maupun dari memantau aktivitas sosial media. Informasi itu kemudian bisa disandingkan dengan informasi yang tertera dalam SPT," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo memaparkan, secara aturan, selebgram memang dikenakan pajak sesuai sistem umum yang berlaku.

Namun, kata dia, pemerintah perlu menciptakan cara baru untuk memonitor pendapatan dari para selebram di sosial media melalui aturan yang telah ada.

"Aturan sebenarnya sama tapi cara memungut pajaknya saja yang berbeda. Mungkin yang mau diatur caranya, yaitu monitoring dan registrasi. Termasuk juga dengan Youtubers," ujar dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya