HEADLINE: Ribuan Caleg Rahasiakan Data Pribadi, Ada Sanksinya?

KPU menyebut 2.049 dari 8.037 caleg di pemilu 2019 tidak mau membuka data pribadinya ke publik. Apa sanksinya?

oleh Putu Merta Surya PutraYusron FahmiDelvira HutabaratRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 09 Feb 2019, 00:03 WIB
Komisioner KPU Ilham Saputra didampingi Anggota Bawaslu Fritz Edward dan Pihak Politeknik Media Kreatif menunjukkan surat suara legislatif kepada awak media saat pencetakan perdana di Kompas Gramedia, Jakarta, Minggu (20/1). (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Daftar caleg kembali jadi sorotan. Bukan lagi soal 49 nama caleg eks koruptor yang dirilis belum lama ini. Tapi, tentang data pribadi yang mereka rahasiakan untuk publik.

KPU menyatakan, 2.049 dari 8.037 caleg yang bertarung di pemilu 2019 tidak mau mengisi dan membuka data pribadi secara lengkap.

Data tersebut di antaranya tentang jenis kelamin, usia, riwayat pekerjaan, status khusus (mantan napi/bukan mantan napi), motivasi, dan target saat terpilih menjadi anggota legislatif.

Semangat keterbukaan informasi pun tereduksi. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menegaskan, caleg yang tidak mengisi data pribadi lengkap telah mencederai semangat mewujudkan pemilu yang transparan.

"Ketidaktersediaan informasi mengenai caleg akan membuat pemilih kesulitan mengenali profil, memantau rekam jejak, dan mengetahui program masing-masing caleg. Ini akan berujung pada kesulitan memilih pada hari pemungutan suara nanti," ujar Titi kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2019). 

Padahal, kata Titi, UU 7/2017 tentang Pemilu telah mengamanatkan keterbukaan informasi bagi publik. Pasal 14 huruf C UU Pemilu menyebutkan, KPU berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat. Salah satu informasi yang perlu dibuka adalah profil caleg.

Melalui PKPU 31/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, informasi caleg diakomodasi melalui formulir model BB.2: Daftar Riwayat Hidup dan Informasi Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota.

Di formulir tersebut, terdapat beberapa informasi yang dibutuhkan publik seperti jenis kelamin, usia, riwayat pendidikan, riwayat organisasi, riwayat pekerjaan, status khusus (terpidana/mantan terpidana/bukan mantan terpidana), serta motivasi (latar belakang maju caleg) dan target atau sasaran (berisi contoh hal-hal yang akan dikerjakan ketika terpilih).

"Informasi yang tertera pada formulir model BB.2 penting dibuka agar pemilih bisa mendasarkan pilihannya pada integritas, kualitas, rekam jejak dan komitmen yang bisa dilacak dari profil caleg tersebut," ujarnya.

Infografis Ribuan Caleg Sembunyikan Data Pribadi. (Liputan6.com/Triyasni)

Sebagai contoh, status khusus apakah caleg terpidana, mantan terpidana, atau bukan mantan terpidana dengan mudah bisa dilacak pemilih jika caleg benar-benar serius mengisi satu kolom dari sekian banyak kolom isian yang tertera pada formulir model BB.2 dan membukanya ke publik.

"Jika pada batas waktu tertentu caleg masih enggan membuka profilnya ke publik, KPU perlu mengumumkan nama-nama tersebut," tegasnya.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Perludem dari sistem informasi KPU infopemilu.kpu.go.id, per 6 Februari 2019, masih ada 2.043 dari 7.992 (25.56 persen) caleg yang enggan membuka data diri. Jika direkapitulasi berdasarkan jenis kelamin, 1.162 dari 4.790 (24.26 persen) caleg laki-laki enggan membuka data diri serta 881 dari 3.203 (27.51 persen) caleg perempuan menolak membuka data diri.

Jika direkapitulasi berdasarkan partai, kata Titi, Demokrat, Hanura, PKPI, Partai Garuda, dan Nasdem adalah lima partai dengan jumlah ketidaktersediaan profil caleg tertinggi. Sementara lima partai dengan jumlah ketidaktersediaan profil caleg terendah yaitu Golkar, Berkarya, PPP, PAN, Perindo.

Terpisah, pengamat politik Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Dahlia Umar meminta KPU jadi pelayan rakyat, bukan caleg atau parpol. KPU harus memegang prinsip persamaan hak. Jika mantan napi koruptor tetap mempunyai hak untuk menjadi caleg selama yang bersangkutan sudah menjalankan hukuman. Itu juga harus diimbangi dengan hak pemilih mengetahui rekam jejak calon sebelum memutuskan memilih .

"Ini hanya bisa dilakukan bila KPU berani mewajibkan seluruh caleg mengumumkan profil dan rekam jejaknya sebagai bentuk keadilan dan pertanggung jawaban sebagai calon pemimpin," ungkapnya kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2019).

Menurut Dahlia, pemilu adalah ajang pemilihan calon pemimpin yang mewakili rakyat nantinya. Karena itu yang harus dikedepankan adalah kebutuhan pemilih akan informasi yang detail tentang rekam jejak, capaian, prestasi calon.

"Dengan begitu pemilih dapat mengambil keputusan dengan bijak pada 17 April nanti," pungkasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Terbentur UU Lain

Ketua KPU, Arief Budiman saat rilis Caleg Berstatus Mantan Terpidana Korupsi pada Pemilu 2019 di Jakarta, Rabu (30/1). Ada 49 Caleg Berstatus Mantan Terpidana Korupsi terdaftar di DPT DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri punya alasan mengapa pihaknya tidak mengumumkan nama-nama caleg yang merahasiakan data pribadinya. Komisioner KPU Ilham Saputra menyatakan, caleg berhak tidak membuka identitas pribadinya.

"Caleg memiliki privasi untuk memilih tidak mengisi data diri. Mereka dijamin UU untuk tidak di-publish," kata Ilham, Jumat (8/2/2019).

Ilham menyatakan, tidak ada peraturan KPU yang melarang caleg merahasiakan data pribadinya. Selain itu, KPU juga terikat dengan undang-undang lain, yakni UU Keterbukaan Informasi Publik

"Coba lihat Pasal 17 itu informasi pribadi termasuk hal yang dikecualikan. KPU kan melihat UU lain, ketika pemilu kan bukan hanya soal pemilu saja, ada juga privasi yang enggak boleh," katanya.

KPU, kata dia, hanya bisa mendorong caleg membuka diri dan meminta koordinasi dengan parpol pengusungnya.

"Biar masyarakat nanti yang menilai caleg tersebut," kata dia.

Senada, Ketua KPU Arief Budiman menyebut tak ada sanksi apa pun bagi caleg yang menutup data diri.

"Enggak ada sanksi," singkat Arief di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Jumat (8/2/2019).

Arief menyerahkan pada masyarakat untuk menilai apakah caleg yang menutup diri pantas untuk dipilih atau tidak.

"Biar nanti masyarakat nilai, oh ternyata si A enggak mau dibuka datanya, oh si B mau dibuka datanya," katanya.

Menurut Arief, adanya akses untuk melihat data diri caleg bagian dari pendidikan politik.

"Biar masyarakat menilai ada partai yang membuka datanya, ada yang tidak. Ada calon yang membuka datanya, ada yang tidak," ucapnya.

Arief menegaskan tidak akan mengumumkan daftar caleg yang merahasiakan data diri tersebut. Sebab, semuanya telah ada di situs KPU. "Kamu buka saja di situ," tandasnya.

Mantan Komisioner KPU Hadar Gumay menyayangkan sikap komisi pemilihan tersebut. Menurutnya, sangat penting bagi pemilih untuk mengetahui rekam jejak caleg yang akan dipilih.

"Kita perlu tahu dong, siapa-siapa mereka. Kan kita tidak mau memilih kucing dalam karung," Hadar kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2019).

Hadar menyatakan, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, jangan hanya melayani kepentingan partai politik dan calegnya. Menurutnya, justru yang terpenting adalah bagaimana kebutuhan 192 juta pemilih bisa terpenuhi dengan baik. Caranya, dengan memberikan informasi lengkap terkait daftar caleg yang akan dipilih.

"Mengisi data pribadi secara lengkap dan bisa diakses publik itu hal yang paling mendasar. Dari situ bisa kita kembangkan datanya dengan cari-cari dari sumber lain. Googling di internet misalnya. Tapi kalau yang mendasar saja tidak tersedia bagaimana kita tahu mereka," sambungnya.

Hadar mendesak KPU untuk mengumumkan nama-nama caleg yang merahasiakan data pribadinya tersebut. Jika memang KPU tidak bisa mengumumkan nama-nama caleg tersebut karena yang bersangkutan menolak untuk dipublikasi, KPU bisa menggunakan logika terbalik dengan mengumumkan nama-nama caleg yang bersedia diumumkan.

"Di formulir BB.2 memang dicantumkan pernyataan bersedia dipublikasi atau tidak. Umumkan saja yang bersedia, dari situ kan kita tau sebaliknya, caleg-caleg yang tidak mau data pribadinya dipublikasi," katanya.

KPU, kata dia, jangan bersikap kaku dan terkesan tidak punya daya menyikapi kasus ini.

"Kalau caleg eks korupsi saja bisa diumumkan, masa yang begini saja tidak bisa? banyak cara kalau memang sungguh-sungguh," ungkapnya.


Pengaruhi Elektabilitas?

Petugas memeriksa contoh surat suara Pemilu 2019 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (13/12). Proses validasi ini berlangsung hingga 17 Desember 2018. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding punya alasan mengapa caleg tidak mau membeberkan data pribadinya. Menurutnya wajar jika ada caleg yang enggan mengisi lengkap data pribadi, khususnya terkait status khusus pernah jadi napi korupsi atau tidak.

"Ya kalau soal itu pasti tidak mau nyampaikan itu karena itu kan aib, dan akan bisa berpengaruh pada elektabilitas," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2019).

Hanya, Kadir Karding menjamin catatan KPU tersebut tidak berlaku untuk caleg PKB. Menurutnya, caleg di partainya  sangat terbuka dan senang jika diminta untuk membuka ke publik soal jejak rekam mereka.

"Enggak ada masalah, kita ikut aturan KPU saja. Kalau KPU mengatur mengharuskan ya kita membuka. Tetapi semangat kami ingin para caleg di PKB itu terbuka," ungkapnya.

Pihaknya ingin agar sebagai calon pimpinan politik di level masing-masing yang terpilih nantinya adalah betul-betul orang yang memiliki standar.

Terpisah, Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antony menegaskan, partainya sejak awal menginstruksikan para caleg untuk membuka data dirinya secara lengkap kepada masyarakat.

"Silakan dicek, yang belum membuka diri itu dari partai apa sebenarnya. Saya akan membuat instruksi ulang kalau memang ada caleg PSI yang belum buka data dirinya," ungkapnya.

Membuka dan mengisi data secara lengkap, kata dia, adalah bagian komitmen PSI yang selalu mengusung partai antikorupsi dan bebas dari korupsi.

"Ini sudah jadi cita-cita seluruh kader kami," ujarnya.

Para caleg sendiri sepakat agar KPU mengungkap ke publik caleg-caleg yang tidak mau mengisi lengkap data pribadinya.

"Kalau daftar caleg koruptor saja bisa diumumkan, kenapa yang ini tidak sekalian," ujar Aziz Kafia, caleg DPD RI dari DKI Jakarta, Jumat (8/2/2019).

Menurutnya, sudah menjadi hak masyarakat untuk mengetahui rekam jejak dan asal usul pejabat publik yang menjadi wakilnya di pemerintahan.

"Bagaimana ingin membangun tranparansi jika calegnya tidak jujur untuk urusan yang simpel seperti ini," katanya.

Aziz sendiri menegaskan, dirinya sebagai caleg DPD telah mengisi lengkap data pribadi yang dibutuhkan dalam pencalegan.

"Semangat saya ya itu tadi, untuk transparansi dan keterbukaan bersama," ujarnya.

Senada, caleg Partai Gerindra Dapil DKI Jakarta II Biem Benyamin menyatakan, seyogyanya caleg mengisi lengkap data yang disodorkan KPU dalam pencalegan.

"Sebaiknya sih diisi caleg. Kalau saya sih diisi semua," kata Biem kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2019).

Hanya dia tidak bisa menanggapi banyak karena untuk hal ini memang tidak ada kewajiban atau aturan yang mengharuskan untuk mengisi.

"Ya kalau KPU tidak mewajibkan, ya bukan salah caleg juga," jelasnya.

Perintah partai, lanjut Biem hanya menganjurkan mengisi sesuai yang ada di aturan KPU.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya