Diduga Diretas, Seluruh Kata Sandi Sistem Komputasi Parlemen Australia Direset

Seseorang diduga pembajak tak dikenal mencoba meretas ke dalam sistem komputasi parlemen Australia.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 08 Feb 2019, 14:15 WIB
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Liputan6.com, Melbourne - Parlemen Australia harus mengatur ulang semua kata sandi di jaringan komputernya pada Kamis 7 Januari 2019 waktu setempat, gara-gara seorang yang diduga pembajak tak dikenal mencoba meretas ke dalam sistem.

Dalam sebuah pernyataan, petugas bagian legislatif mengatakan sejumlah langkah telah dilakukan guna melindungi sistem tersebut, setelah terjadi insiden pelanggaran keamanan di jaringan komputasi parlementer Australia.

"Tidak ada bukti bahwa data ini telah diakses atau diambil pada saat ini," kata pernyataan itu seperti dikutip dari CNN, Jumat (8/2/2019).

Sejauh ini para petugas mengatakan mereka tidak memiliki bukti bahwa peretasan itu adalah upaya untuk mempengaruhi atau mengganggu parlemen.

Insiden ini terjadi selang sebulan setelah politisi Jerman dilanda kebocoran data besar-besaran, termasuk rincian kartu kredit, nomor telepon, dan alamat email.

Pemimpin oposisi Partai Buruh Australia, Bill Shorten, mengatakan serangan terhadap parlemen harus menjadi "peringatan".

"Apa yang terjadi hari ini terhadap parlemen adalah bagian dari gambaran yang lebih besar," kata Shorten kepada wartawan.

"Internet luar biasa, tetapi ada orang-orang di luar sana, di dunia maya yang ingin membuat orang Australia, dan bisnis Australia, dan keamanan Australia, celaka."

Media Australia mengatakan pemerintah asing mungkin berada di balik peretasan itu, tetapi pernyataan parlemen hanya mengatakan bahwa "agen-agen terkait" sedang menyelidikinya.

"Atribusi akurat dari insiden dunia maya membutuhkan waktu dan penyelidikan sedang dilakukan bersama dengan badan keamanan terkait," imbuh Shorten.

 

Saksikan juga video berikut ini:


Hacker Rusia Diduga Retas 195 Situs Terkait Donald Trump

Donald Trump telah mengancam penutupan sangat lama terhadap pemerintah AS apabila pendanaan untuk pembangunan tembok perbatasan tidak direstui. (AP File)

Kasus dugaan peretasan sebelumnya dilaporkan kantor berita asal Amerika Serikat yang menyebut sekitar 195 laman elektronik milik atau yang berkaitan dengan Presiden AS Donald Trump beserta keluarga dan entitas bisnisnya, pernah diserang oleh peretas dari Rusia. Penyerangan siber itu diduga dilakukan pada tahun 2013.

Laporan dari Associated Press pada 5 November 2017 muncul di tengah maraknya penyelidikan atas dugaan kedekatan Rusia dengan Presiden Trump dan campur tangan Moskow dalam Pilpres AS 2016 lalu.

Menurut analisis yang dilakukan oleh AP beserta sejumlah pakar menunjukkan, serangan siber itu berupa malware, ransomware, dan redirecting IP virus.

Analisis juga menunjukkan, dalang di balik serangan itu diduga memiliki IP adress di St. Petersburg, Rusia.

donaldtrump.orgdonaldtrumpexecutiveoffice.com, donaldtrumprealty.com, dan barrontrump.com adalah sejumlah situs yang terdampak. Analisis menunjukkan, serangan siber itu terjadi menjadi dua gelombang sepanjang Agustus - September 2013.

Pelaku meretas laman tersebut dan mengubah registrasi domainnya ke alamat IP milik peretas di St. Petersburg. Kemudian, pelaku menanam virus yang disamarkan di dalam laman tersebut guna mengelabui para pengunjung situs agar memberikan informasi pribadi mereka.

Peretas juga diduga menanam sejumlah malware dan ransomaware dalam laman tersebut untuk mencuri file serta dokumen pribadi milik pengunjung situs.

Dan selama proses itu, pengunjung tidak akan menyadari bahwa mereka telah menjadi korban peretasan.

Sebagian besar dari sekitar 195 situs itu memang tidak digunakan oleh Donald Trump secara pribadi. Namun, sejumlah di antaranya dikelola oleh pihak Trump Organization (entitas bisnis yang dikelola oleh Donald Trump dan keluarga).

Meski begitu, basis server sebagian besar situs itu tidak bersumber dari server Trump Organization.

Ketika dimintai keterangan oleh AP, pihak Trump Organization membantah laporan tersebut.

Sedangkan pihak Gedung Putih enggan berkomentar dan menyarankan para jurnalis untuk merujuk penjelasan dari Trump Organization.

Sementara itu, Biro Federal Investigasi AS (FBI) -- yang saat ini tengah melakukan penyelidikan skandal peretasan Rusia dalam Pilpres AS 2016 -- tidak memberikan komentar ketika dimintai keterangan oleh AP.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya