Liputan6.com, Paris - Ribuan demonstran gilets jaunes (rompi kuning) Prancis kembali turun ke jalan pada Sabtu 9 Februari, yang menandakan aksi protes mereka telah memasuki pekan ke-13.
Kali ini, unjuk rasa diikuti oleh beberapa perkelahian dan tindak anarki, di mana tangan salah seorang demonstran terluka parah akibat ledakan kecil, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Mingggu (10/2/2019).
Di Paris, seribuan orang menyerbu berbagai area pemerintahan, termasuk di sekitar Majelis Nasional dan Senat Prancis.
Baca Juga
Advertisement
Demonstrasi itu sebagian besar berlangsung damai, tetapi beberapa pengunjuk rasa melemparkan benda-benda ke pasukan keamanan. Mereka juga melakukan tindak anarki pada skuter dan mobil van polisi Prancis, serta beberapa jendela toko dihancurkan.
Satu tangan demonstran terluka parah ketika ia mencoba merebut pemantik gas air mata yang digunakan oleh polisi untuk membubarkan kerumunan orang, kata sebuah sumber kepolisian kepada Reuters.
Seorang pria lainnya dikabarkan mengalami luka di kepalanya akibat nekat menantang barisan polisi anti huru hara.
Kementerian Dalam Negeri setempat menyatakan jumlah total demonstran di Prancis sekitar 12.000 orang, termasuk 4.000 di antaranya berunjuk rasa di Paris.
Namun, sumber polisi mengatakan bahwa jumlah pengunjuk rasa yang terlibat jauh lebih tinggi, yakni sekitar 21.000 orang mengambil bagian dalam demonstrasi di luar Paris.
"Kami bukan anak-anak, kami orang dewasa," kata Hugues Salone, seorang insinyur komputer dari Paris, yang turut meneriakkan dan melambai-lambaikan papan protes
"Kami benar-benar ingin menegaskan pilihan kami, dan bukan pilihan politikus yang tidak menghayati peran mereka sebagai pengayom rakyat," lanjutnya geram.
Simak video pilihan berikut:
Serangan pada Rumah Ketua Majelis Rendah Prancis
Demonstrasi yang namanya diambil dari warna garis keamanan pada jaket pekerja, dimulai pada pertengahan November tahun lalu untuk memprotes kenaikan pajak bahan bakar.
Namun, beberapa pekan setelahnya, aksi unjuk rasa itu meluas menjadi pemberontakan terhadap para politikus Prancis, yang mereka anggap abai terhadap kesejahteraan masyarakat umum.
Sementara itu, para pemimpin demonstrasi mengecam polisi karena melukai pengunjuk rasa, tetapi di satu sisi, juga berjuang untuk mengendalikan kekerasan di kubu mereka sendiri.
Sebelumnya pada Jumat 8 Februari malam, terjadi sebuah serangan pembakaran di kawasan pemukiam elit Britanny, terutama menyasar rumah ketua Majelis Nasional Prancis Richard Ferrand.
Para politikus dari berbagai spektrum mengecam serangan pembakaran di rumah Ferrand, sekutu dekat Macron dan presiden majelis rendah parlemen.
Ferrand mengunggah sebuah gambar di Twitter tentang ruang tamu yang hangus, dan mengatakan polisi menemukan bahan-bahan yang pemicu api berserakan di antaranya.
Menurutnya, niat kriminal kemungkinan menjadi penyebab serangan tersebut, meskipun identitas pelaku tidak jelas.
Menanggapi insiden tersebut, Macron mengetwit: "Tidak ada yang membenarkan intimidasi dan kekerasan terhadap pejabat terpilih Republik".
Advertisement