Liputan6.com, Tasikmalaya - Jemaah Ahmadiyah bersama Forum Bhinneka Tunggal Ika Tasikmalaya menyelenggarakan Diskusi Publik "Politik dan Ancaman Intoleransi", bertempat di Balai Pertemuan Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Latar belakang diselenggarakannya diskusi ini adalah politik identitas sering sekali digunakan dalam kontestasi politik elektoral beberapa tahun terakhir, dan berpotensi akan semakin masif jika tak ditangani sejak dini.
Politisasi agama maupun identitas etnik harus diperangi bersama demi menjaga kekayaan keberagaman yang selama ini dimiliki Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Menjelang pesta demokrasi di Indonesia, ruang publik sudah dipenuhi oleh kebencian, caci maki yang berhubungan erat dengan rasisme, perbedaan agama, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, seluruh elemen bangsa diminta agar terus menjaga kekayaan keberagaman.
Ketua GP Ansor Jawa Barat, Deni Ahmad Haidar dalam paparannya menyampaikan, puncak politik tertinggi di Indonesia adalah terbentuknya NKRI. "Indonesia harus dipelihara dengan baik," kata Deni dalam keterangan resmi yang diterima Liputan6.com, Minggu (10/2/2019).
Menurutnya, Indonesia kini dibagi menjadi dua, yakni dunia nyata dan dunia maya. "Keributan dalam kontestasi politik ujian bagi kita dan PR kita untuk semakin memperkokoh NKRI. Kontestasi politik harus dihadapi dengan riang gembira, lebih rasional", ujarnya.
Sementara itu, juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana mengajak bangsa Indonesia untuk mencapai standar tertinggi terhadap kecintaan dan kesetiaan terhadap NKRI. "Sebuah keharusan untuk mencintai bangsanya sendiri. Seorang Muslim sejati mana mungkin akan mengkhianati Tanah Airnya," dia menuturkan.
Yendra mengungkapkan, Ahmadiyah secara organisasi tidak berpolitik praktis, tetapi dalam hal pemilu, Ahmadiyah tidak mengenal sistem golput.
"Ahmadiyah tetap setia pada demokrasi dan pemerintahan. Marilah jadi warga negara yang taat hukum, dan mari sukseskan pemilu 2019 dengan tidak golput," dia menandaskan.
Faktor-Faktor Penyebab Intoleransi
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakir menerangkan tentang faktor munculnya intoleransi, yaitu adanya perasaan terancam mengenai isu orang lain, fanatisme keagamaan, dan faktor media sosial.
"Daerah-daerah yang secara historis berbasis ingatan Islam politik mudah sekali terpapar berita hoaks, mimpi negara Islam, politik digunakan sebagai kepentingan mereka. Kita harus melakukan politik untuk menangkal itu semua. Golput bukan solusi, partisipasi politik itu penting," dia menjelaskan.
Ketua PERADI Tasikmalaya, Andi Ibnu Hadi mempertanyakan posisi fatwa MUI. Namun, keadaannya sangat sentral, dan kadang fatwa-fatwanya menjadi ancaman kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Seperti fatwa sesat terhadap Wahidiyah dan Ahmadiyah.
"Fatwa MUI menjadi sangat sentral bahkan mengesampingkan aturan tertinggi UU. Peran dan fungsi partai politik, parpol seharusnya memberikan pendidikan politik sehingga masyarakat menjadi terbuka. Parpol seharusnya menyosialisasikan mengenai ideologi bangsa", katanya.
Sementara itu, Ketua Forum Bhinneka Tunggal Ika Tasikmalaya, Asep Rijal, berpendapat, intoleransi difasilitasi oleh pemerintah daerah, fatwa MUI, dan kebijakan-kebijakan politik yang berpihak kepada berbagai kelompok.
"Wakil rakyat seharusnya menjadi garda terdepan untuk dapat berdiskusi, ruang-ruang kebersamaan itu harus tetap terjaga. Satu bangsa, satu bahasa, tapi tidak satu agama," dia menandaskan.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement