Ekonom UI: Tarif Tol RI Masih Sebanding dengan Vietnam dan Malaysia

Ekonom UI Fithra Faisal menuturkan, pembangunan jalan tol yang terpenting berdampak terhadap ekonomi. Sedangkan tarif tol adalah hal relatif.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Feb 2019, 15:15 WIB
Suasana arus lalu lintas di ruas tol Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (30/1). Ketua DPR Bambang Soesatyo mengusulkan agar pemerintah mulai mewacanakan perizinan penggunaan jalan tol oleh pengguna sepeda motor. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Tarif tol di Indonesia merupakan tarif tol termahal di Asia Tenggara (ASEAN) dengan rata-rata tarif  berkisar Rp 1.300 hingga Rp 1.500 per kilometer (Km).

Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal menilai, tarif tol tersebut merupakan hal yang relatif, mengingat tingginya biaya pembangunan jalan tol di Indonesia. Apalagi banyak tol yang baru dibangun sehingga belum ada pengembalian modal.

"Itu relatif karena ketika kita membangun jalan tol itu mahal, intinya harus ada potensi pengembaliannya yang juga kalau dilihat rasio opex dan capexnya itu sebenarnya cukup mahal, apalagi di daerah yang mahal harga tanahnya, jadi memang cukup tinggi tarifnya," kata Fithra saat ditemui di Kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (11/2/2019).

Kendati demikian, Fithra mengatakan, jika dibandingkan dengan negara lainnya di ASEAN tarif tol di Indonesia bukan merupakan yang paling mahal.

"Kalau dibandingkan dengan ASEAN itu relatif, kalau dibandingkan dengan Singapura, tentu mereka lebih tinggi. Tapi dibandingkan Malaysia dan Vietnam ya so so lah (sebanding)," ujar dia.

Sebagai informasi, di negara-negara tetangga, seperti Singapura tarif tol rata-rata Rp 778/Km, Malaysia Rp 492/Km, Thailand dalam kisaran Rp 440/Km, Vietnam dalam kisaran Rp 1.200/Km, dan Filipina Rp 1.050/Km.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 


Pembangunan Jalan Tol Harus Berdampak terhadap Ekonomi

Kementerian PUPR berupaya untuk menyelesaikan pembangunan Jalan Tol Trans Jawa dari Merak - Banyuwangi sepanjang 1.150 Km pada akhir tahun 2019. (Dok Kementerian PUPR)

Sejauh ini, dia menilai tarif tol tidak menjadi suatu masalah yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian.

"Yang jadi masalah adalah ketika pembangunan jalan tol ini kemudian tidak terefleksi ke perekonomian masyarakat, nah ini sebenarnya butuh waktu," tutur dia.

Pembangunan jalan tol, lanjut dia, harus memiliki nilai tambah dan dapat mendongkrak roda perekonomian.

"Feasibilities study (fs) nya dibuat lebih baik. Bukan artinya tidak butuh jalan tol, itu masih dibutuhkan. Tapi nanti jalan tol seperti apa yang dibutuhkan?,” kata dia.

"Jalan tol yang hubungkan dari industri ke industri, bisa turunkan harga, yang bisa turunkan gap antara yang kaya dan miskin. Selama ini ada beberapa kajian untuk jalan tol ini justru melebarkan ketimpangan karena sifatnya yang regresif," ia menambahkan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya