Liputan6.com, Jakarta - Global Positioning System (GPS) kini bukan lagi barang mewah. Teknologi pemantau lokasi ini selalu ada digenggaman pemilik smartphone. GPS sangat bermanfaat memandu kita menujut lokasi yang diinginkan.
Tidak sekedar itu, teknologinya berkembang pesat. Secara real time, GPS bisa memberikan informasi kemacetan lalu lintas selain menunjukan lokasi tempat-tempat penting seperti rumah sakit, sekolah, SPBU dan sebagainya.
Yang paling merasakan perkembangan teknologi GPS adalah perusahaan tranportasi bebasis online. GPS tidak akan lepas dan menjadi andalan bagi ojek online (ojol), baik pengendara sepeda motor maupun pengemudi mobil. Pengembangan teknologi GPS memberikan jalan tercepat dan terpendek sehingga konsumen suka dengan layanan ojol ini karena ongkos yang dibebankan jadi lebih murah.
Baca Juga
Advertisement
Ketergantungan masyarakat modern terhadap aplikasi GPS ternyata berbuntut panjang. Pengoperasian GPS saat berkendara terbukti mengganggu konsentrasi pengendara. Dan ini melanggar hukum seperti apa yang tertera dalam Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Pasal 106 ayat (1) menyebutkan:
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi".
Penjelasannya menyebutkan:
"yang dimaksud dengan penuh konsentrasi adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan".
Sedangkan Pasal 283 UU LLAJ berbunyi:
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan ‘melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)".
Selanjutnya
Karena terbukti berbahaya, Mahkamah Konstitusi (MK) secara bulat menolak pengujian Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terkait larangan penggunaan telepon saat sedang berkendara yang jika dilanggar bisa dipidana. Artinya, kedua pasal yang mewajibkan pengendara penuh konsentrasi/perhatian itu dinyatakan tetap konstitusional dan tetap berlaku.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi amar putusan MK No. 23/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Rabu 30 Januari lalu.
Memang tidak bisa dipungkiri, banyak mobil atau motor yang tiba-tiba bergerak melambat dengan arah yang tidak sesuai dengan arah jalan. Ternyata kedapatan, pengemudi atau pengendara kendaraan tersebut terhubung secara aktif dengan aplikasi GPS yang ada di smartphone-nya. Dan banyak lagi kejadian negatif akibat penggunaan GPS saat berkendara.
Menurut Kasubdit Gakkum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kompol Herman Ruswandi, larangan GPS bagi pengguna roda dua dan empat telah sesuai aturan yang berlaku dalam Pasal 106 Ayat 1 dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Dalam kedua pasal tersebut dijelaskan larangan penggunaan telepon saat sedang berkendara yang jika dilanggar bisa dipidana. Itu artinya kedua pasal yang mewajibkan pengendara penuh konsentrasi/perhatian itu dinyatakan tetap konstitusional dan tetap berlaku.
Mengacu pada peraturan perundang undangan tersebut, petugas di lapangan tak akan segan-segan melakukan penindakan jika aturan ini terus dilanggar para pengemudi.
"Saat ini masih oleh petugas, baik yang berjaga atau yang berpatroli. Tapi ke depan ketika kamera CCTV sudah terpasang dan itu juga sudah bisa dijadikan alat bukti yang sah sesuai undang-undang," ujar Herman.
Advertisement
Selanjutnya
Menanggapi keputusan MK, Vice President Corporate Affairs Go-Jek Michael Say menyampaikan pendapatnya. "Kami mengapresiasi upaya pemerintah untuk terus meningkatkan keselamatan berlalu lintas," ujarnya melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Senin, 11 Februari 2019.
Michael menyebut keselamatan berkendara merupakan prioritas bagi Go-Jek, hal ini merupakan bagian dari komitmen dan akan dilaksanakan dengan berbagai cara.
"Kami juga ingin memanfaatkan momentum ini untuk mengimbau kepada para pelanggan untuk bisa memberikan alamat jelas saat melakukan pemesanan sebagai panduan bagi driver dalam mencapai lokasi tujuan, agar pencarian alamat dapat dilakukan sebelum trip dimulai, sehingga mengurangi penggunaan GPS sambil berkendara.
Penggunaan GPS sendiri lazim digunakan di berbagai negara. Tentunya ada pembatasan penggunaan agar tak berpotensi menyebabkan kecelakaan.
Misalkan saja di Inggris, dikutip dari express.co.uk, pengemudi bisa menggunakan fitur navigasi di smartphone selama tujuan sudah diatur sebelum memulai perjalanan dan tidak menyentuh smartphone selama berkendara.
Meskipun demikian, pengemudi masih bisa terkena denda hingga 100 pound sterling dan pengurangan 3 poin jika terbukti tak fokus saat berkendara.
Selanjutnya
Di Indonesia sendiri beberapa agen pemegang merek (APM) menyediakan fitur GPS pada mobil yang dijualnya. Misalkan saja BMW Group Indonesia yang menawarkan fitur ini kepada konsumennya.
Terkait dengan pelarangan penggunaan GPS saat berkendara, Jodie O'tania selaku Vice President of Corporate Communications BMW Group Indonesia angkat bicara.
"Kami mendukung pelarangan penggunaan GPS yang diaktifkan melalui gadget (HP) dengan alasan keselamatan. Untuk GPS di BMW yang terintegrasi dengan dengan monitor MID atau console sudah disesuaikan dengan sudut pandang dan pengoperasian ergonomis pengendara sehingga tidak mengganggu pengendara dalam menyetir. Menurutnya kendaraan BMW telah menggunakan program navigasi sejak tahun 1994 atau di BMW Seri 7 E38, dalam perkembangannya sistem pengoperasian semakin mudah dan ergonomis," ungkap Jody kepada Liputan6.com melalui pesan tertulis.
Lebih lanjut, seluruh BMW yang dipasarkan memiliki fitur navigasi GPS standar BMW ConnectedDrive. Fitur tersebut tak hanya memandu pengemudi untuk berkendara dari titik A ke titik B saja. Misalkan saja di Jerman, navigasi satelit sudah terintegrasi dengan beragam informasi penting. Salah satunya adalah peringatan batas kecepatan di jalan-jalan tertentu.
Untuk pengoperasian sistem tersebut, jika pengoperasian dinilai rumit seperti pairing smartphone, maka pengemudi diwajibkan untuk berhenti terlebih dahulu. Sedangkan jika pengoperasian ringan, BMW menawarkan beragam pengaturan agar pengemudi tetap fokus ke jalan, seperti voice control, tombol pada lingkar kemudi, hingga gesture control.
Advertisement
Selanjutnya
Muhammad Ikhsan selaku Sekjen JMC, komunitas pengguna Yamaha NMax, menganggap pelarangan penggunaan GPS ini cukup menggelitik lantaran penggunaan internet sudah menjadi hal lumrah.
Penggunaan GPS dianggap telah sesuai dengan kemajuan zaman. Pasalnya sudah puluhan tahun pengendara di Indonesia cuma bermodalkan selembar peta, atau hanya bertanya pada warga di sekitar untuk mencari jalan.
"Di sini ada permasalahan yang fundamental. Masalah mendasar yang dimaksud adalah perkembangan teknologi dunia yang tidak sejalan dengan sistem atau aturan di Indonesia," jelasnya saat dihubungi Liputan6.com.
Menurutnya, tujuan polisi melarang penggunaan GPS berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yaitu untuk menciptakan kondisi aman berlalu lintas sangat benar.
"Namun yang saya cermati itu adalah 'pasal karet'. Perlu adendum untuk menyaingi percepatan era digitalisasi yang bermanfaat bagi pengendara, atau UU yang mengatur secara spesifik mengenai penggunaan GPS," tegasnya.
Jika berkaca pada aturan tersebut, dan menyatakan jika pengendara sesekali melihat GPS saat berkendara dikenakan sanksi, artinya semua kegiatan yang memecah konsentrasi berkendara, harusnya diberikan sanksi juga.
"Artinya merokok, mendengarkan musik, dan ngobrol saat berkendara juga harus diberikan hukuman. Karena aktivitas-aktivitas tersebut juga memecah konsentrasi," ujarnya.
Selanjutnya
Rio Octaviano sebagai anggota Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA) menyampaikan, ada dua aspek yang menjadi bahan analisa dalam polemik GPS. Pertama ialah mengakomodir arus teknologi informasi yang akan mempermudah pengendara, dan faktor keterampilan berkendara dengan tetap menghargai aturan lalu lintas.
"Seperti yang kita ketahui, bahwa instrumen berkendara ada beberapa hal antara lain, kemudi, persneling, pedal gas, dan spion. Masing-masing dari instrumen tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam hal ini, kami mencoba mengusulkan penggunaan GPS handphone diperlakukan seperti spion," katanya.
Spion biasa digunakan penggendara dengan cara melirik, bukan dengan melihat secara intens. Maka, dalam aturan berkendara dengan konsentrasi, menambah kegiatan berkendara dengan cara melirik GPS dinilai bisa dipertimbangkan.
Namun ada catatan yang tidak boleh dilakukan pengendara, seperti mengubah rute, mengubah pengaturan aplikasi dan menjalankan aplikasi lainnya saat melaju.
Hal ini secara lisan disetujui oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi saat berbincang dengan Rio. Meski demikian, ia melarang kegiatan lain yang dapat mengganggu konsentrasi saat berkendara.
"Bila saja pemerintah mau tetap melarang tanpa kompromi tentang penggunaan GPS pada handphone, maka, pemerintah wajib melarang mobil-mobil yang melengkapi fitur GPS, telepon, bahkan mirroring handphone yang bisa buat menonton," tutup Rio.
Advertisement