Liputan6.com, New York - Deutsche Bank merilis laporan mata uang yang nilainya termurah (undervalued) dan tertinggi (overvalued) di awal tahun 2019. Bagaimana posisi rupiah?
Melansir Business Insider, tiga mata uang yang nilainya paling murah adalah lira (Turki), peso (Venezuela), dan krona (Swedia). Ekonomi Turki dan Venezuela memang sama-sama terguncang dalam setahun belakangan.
Baca Juga
Advertisement
10 Termurah (undervalued)
1. Lira (Turki)
2. Peso (Venezuela)
3. Krona (Swedia)
4. Ringgit (Malaysia)
5. Dolar (Kanada)
6. Peso (Filipina)
7. Pound sterling (Inggris)
8. Peso (Meksiko)
9. Peso (Chili)
10. Krona (Norwegia)
11. Shekel (Israel)
12. Zloty (Polandia)
10 mata uang termahal (overvalued):
1. Baht (Thailand)
2. Dolar (Selandia Baru)
3. Lira (Brasil)
4. Dolar (Amerika Serikat)
5. Koruna (Ceko)
6. Yuan (China)
7. Won (Korea Selatan)
8. Franc (Swiss)
9. Dolar (Australia)
10. Dolar (Singapura)
11. Rupiah (Indonesia)
12. Euro
Sementara, mata uang yang overvalued adalah dolar Selandia baru, baht (Thailand), dan lira (Brasil). [Mata uang] rupiah berada di ranah overvalued namun tidak masuk 10 besar, melainkan setelah dolar Singapura.
Deutsche Bank memakai model valuasi PPP (Purchasing Power Parity atau paritas daya beli) berdasarkan modal dan perdagangan. Cara itu disebut memberi gambaran lebih baik pada valuasi dengan menitikberatkan aliran dana dan perdagangan pada tiap mata uang.
Posisi nilai mata uang yang terlalu murah dan mahal sama-sama tidak ideal. Menurut Economics Help, kurs terlalu mahal membuat ekspor menjadi tidak kompetitif serta membuat barang impor lebih murah.
Bagaimana bila nilai mata uang terlalu murah alias undervalued? Itu baru saja dirasakan oleh rupiah di akhir 2018 lalu, dan efeknya mengancam harga impor logistik, pemerintah pun terpaksa mengerem impor infrastruktur.
Ekonom Indef Ragu Rupiah Bakal Terus Menguat
Pemerintahan Jokowi-JK mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 15.000 per dolar AS. Angka ini berubah dari Rancangan APBN-2019 sebesar 14.00 per dolar AS.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Alviliani, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah pada tahun ini memang sulit untuk diprediksi. Sebab, kondisi perekonomian global yang terus bergejolak membuat nominal mata uang Garuda ini cenderung terus bergerak.
"Satu hal terkait dengan rupiah. rupiah saat ini sedang cenderung menguat terus ya. Jadi ini juga satu hal yang perlu kita cermati apakah akan terus menguat, keliatannya belum bisa kita pastikan," kata dia dalam acara Dialog Ekonomi Perbankan, di Jakarta, Rabu, 30 Januari 2019.
Aviliani mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi saat ini karena didorong berbagai faktor. Salah satunya melalui aliran modal dana asing yang masuk ke Indonesia cukup deras. Namun, dirinya meragukan, penguatan ini tidak akan berlangsung lama.
"Tapi apakah nanti setelah April ini akan terus menguat? artinya bahwa kita harus mengasumsikan nilai tukar rupiah ini lebih cenderung punya namanya antara, jadi jangan sampai pada satu angka, tidak bisa juga kita liat 14.000 per dolar AS ini seterusnya. Tapi kita harus bisa membuat range antara 14.000 per dolar AS hingga Rp 15.000 per dolar AS," jelasnya.
Aviliani menekankan, untuk menjaga kondisi penguatan rupiah pemerintah bersama Bank Indonesia perlu melakukan beebagai langkah. Caranya dengan mengkonversikan rupiah kepada beberapa mata uang negara asal tujuan. Artinya tidak hanya berfokus pada satu mata uang yakni dolar AS.
"Kita perlu cermati mungkin yen, yuan, euro di mana transaksi dagang kita termasuk pinjaman kita banyak yen ke Jepang, tapi belum dikonversi ke yen. Ini salah satu cara menyeimbangkan mata uang kita," pungkasnya.
Advertisement