Liputan6.com, Yogyakarta Memasuki musim penghujan, ancaman demam berdarah dengue (DBD) kembali mengintai warga Yogyakarta. Tercatat sepanjang Januari sampai awal Februari 2019 ada 35 kasus DBD di kota.
Selain menguras, menutup, memanfaatkan kembali barang bekas, dan membersihkan talang air (4M), warga Yogyakarta ternyata juga dilibatkan secara aktif dalam penelitian menekan populasi nyamuk demam berdarah lewat Aplikasi dalam Eliminasi Dengue (AWED).
Studi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan teknologi Wolbachia dalam mencegah penularan DBD di Yogyakarta. Nyamuk Wolbachia merupakan pasukan pemandul virus DBD. Bakteri wolbachia diinjeksikan ke tubuh nyamuk. Nyamuk jantan ber-Wolbachia yang mengawini nyamuk betina lokal tidak bisa menghasilkan keturunan, sedangkan betina ber-Wolbachia yang mengawini jantan lokal akan menghasilkan keturunan yang seluruhnya ber-Wolbachia.
Baca Juga
Advertisement
AWED diinisiasi oleh World Mosquito Program (WMP), dahulu Eliminate Dengue Program (EDP), yang sejak 2012, meneliti nyamuk Wolbachia. Para peneliti menggandeng Dinas Kesehatan Yogyakarta untuk menjalani studi AWED.
"Kami merekrut pasien demam yang berobat di 18 puskesmas kota Yogyakarta dan satu puskesmas di Bantul dan menawarkan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian yang kami lakukan," ujar Adi Utarini, peneliti utama WMP Yogyakarta, Kamis, 7 Februari 2019.
Setiap pasien dengan indikasi demam yang bersedia membantu akan diberi sejumlah pertanyaan, seputar lokasi tempat tinggal, lokasi kerja, dan sebagainya. Pertanyaan mengarah di seputar apakah pasien berinteraksi dengan wilayah intervensi Wolbachia atau tidak. Selain didata identitasnya, responden yang memenuhi kriteria akan diambil sampel darahnya untuk dianalisis di laboratorium.
Rekrutmen pasien sudah dilakukan sejak 2018 dan dibantu para perawat yang ditugaskan di puskesmas itu. Sampai dengan akhir Januari 2019, terdapat 3.400 pasien terduga DBD yang berpartisipasi.
Menurut Uut, hasil kesimpulan studi itu baru diketahui pada 2020. Sebab, bukti paling baik apabila pemantauan sudah mengalami dua siklus kasus DBD, yakni siklus rendah dan tinggi.
Ia akan membandingkan kasus DBD di wilayah pelepasan Wolbachia dan wilayah pembanding.
"Kalau pun data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Yogyakarta menyebutkan daerah yang memiliki kasus terbanyak bukan wilayah Wolbachia, itu baru pantauan Dinkes dan belum kesimpulan akhir penelitian ini," ucapnya.
Simak video menarik berikut:
Dinamika Kasus
Dinkes Yogyakarta mencatat puncak kasus DBD terjadi pada 2016 dengan jumlah 1.705 kasus dan 13 kematian. Terjadi penurunan kasus di dua tahun berikutnya, masing-masing 414 kasus dengan dua kematian dan 113 kasus dengan dua kematian.
Berdasarkan kelurahan, DBD terbanyak yang terjadi pada 2016 berada di Kricak sebanyak 70 kasus, 2017 di Cokrodinangratan sebanyak 20 kasus, 2018 di Prenggan sebanyak delapan kasus, dan awal tahun ini didominasi oleh Notoprajan dengan enam kasus.
Semantara, kecamatan dengan kasus DBD terbanyak pada 2016 adalah Tegalrejo dengan 180 kasus, 2017 dan 2018 di Umbulharjo dengan 101 dan 25 kasus, serta tahun ini di Gondokusuman sebanyak delapan kasus.
Dari data yang ada juga diketahui, terjadi peningkatan kasus DBD pada awal tahun ini jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yakni tujuh kasus.
"Hampir semua kota di Indonesia menurun pada 2018, kalau awal tahun ini memang naik tetapi tidak setinggi dua dan tiga tahun lalu," tutur Heroe Purwadi, wakil wali kota Yogyakarta. Periode yang sama pada 2016 dan 2017 terdapat 89 dan 159 kasus DBD.
Penyebab tingginya angka kasus DBD pada periode ini juga berkaitan dengan musim. Pada 2018, terjadi musim kering yang panjang, sedangkan awal 2019 curah hujan lebih tinggi dan rapat sehingga bisa meningkatkan populasi nyamuk.
Advertisement