HEADLINE: Polemik Swastanisasi Air Ibu Kota, Pemprov DKI Tetap Ambil Alih?

Pemprov DKI berketetapan hati tetap akan mengambil alih pengelolaan air di Ibu Kota, kendati putusan PK membuat jalannya menjadi rumit.

oleh RinaldoMuhammad Radityo PriyasmoroIka Defianti diperbarui 13 Feb 2019, 00:07 WIB
Polemik Swastanisasi Air di Ibu Kota. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak lagi banyak bicara soal rencana Pemprov DKI mengambil alih pengelolaan air bersih dari PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).

Putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan peninjauan kembali (PK) Kementerian Keuangan ditengarai membuat rencana itu tak lagi mulus.

Dalam putusan PK itu, MA menyatakan menerima permohonan untuk membatalkan putusan kasasi yang menolak swastanisasi pengelolaan air Jakarta. Dengan kata lain, putusan PK itu membuat PT Aetra dan Palyja tetap dibolehkan melanjutkan kontrak mengelola air di Jakarta hingga 2023.

Namun, fakta itu tak membuat Anies berniat menghentikan rencana mengambil alih pengelolaan air di Ibu Kota. Dia bahkan memperpanjang masa kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang mengkaji swastanisasi air di Ibu Kota.

"Kita mengikuti rekomendasi yang disusun oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum. Jadi, tim ini yang menyusun studi, mengkaji banyak aspek, kemudian mereka merekomendasikan untuk mengambil opsi untuk penghentian melalui mekanisme perdata. Itu yang kita ikuti," ujar Anies di Balai Kota Jakarta, Selasa (12/2/2019) petang.

Namun, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menolak untuk menjelaskan lebih rinci tentang proses yang akan dilakukan melalui tindakan perdata. Alih-alih menjabarkan langkah lebih lanjut, Anies menyarankan untuk menanyakan hal itu kepada Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum.

"Diskusikan saja dengan tim (Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum)," ujar Anies sambil berjalan meninggalkan wartawan.

Keterangan yang lebih jelas didapat dari Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo. Dia mengatakan, pihaknya sebenarnya belum memutuskan langkah yang akan diambil Pemprov DKI Jakarta. Putusan baru akan diambil setelah pihaknya berbicara dengan rekanan yang memegang kontrak pengelolaan air di Ibu Kota.

"Kita akan bicara dengan dua mitra (PT Aetra dan Palyja) dan sepakat untuk dijadwalkan selama satu bulan. Akan dilihat progress kita bagaimana. Kemudian, konklusinya seperti apa. Konklusi seperti yang disampaikan Tim Evaluasi kan ada beberapa opsi," jelas Priyatno melalui sambungan telepon, Selasa petang. 

Infografis Polemik Swastanisasi Air di Ibu Kota. (Liputan6.com/Abdillah)

Tiga opsi itu adalah, pertama membiarkan kontrak selesai. Kedua, pemutusan kerja sama saat ini juga. Ketiga, pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Dia mengatakan, selama sebulan ke depan harus ada kepastian opsi yang diambil.

"Dalam satu bulan kemudian akan ada opsinya," ujar Priyatno.

Dia melanjutkan, jika opsi yang diambil sudah diputuskan, maka akan ada due diligence (uji tuntas kinerja perusahaan). Akan ada pula legal opinion untuk memastikan nilai-nilai yang akan diubah.

"Step selanjutnya adalah transisi untuk kemudian implementasinya," papar Priyatno.

Dia juga memastikan bahwa masa transisi tidak akan berlangsung dalam waktu yang lama, misalnya hingga tahun 2023 atau saat berakhirnya kontrak kerja pengelolaan air dengan PT Aetra dan Palyja.

"Tidak selama itu. Kalau sampai 2023, diam saja kita nanti. Yang jelas kita berniat untuk memperbaiki pelayanan," pungkas Priyatno.

Langkah dan keseriusan Pemprov DKI untuk mengambil alih pengelolaan air di Ibu Kota juga mendapat dukungan dari Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Kelompok ini bahkan menampik putusan PK Kemenkeu sebagai tanda kekalahan Pemprov DKI.

"Kita tidak memandang bahwa kita kalah. Peninjauan kembali itu kita belum mendapat salinan. Walau kalah secara hukum, perkiraan kita putusan PK itu terkait masalah formil saja, apakah itu terkait surat kuasa yang didalilkan maupun mekanisme gugatannya," jelas pengacara publik dari KMMSAJ, Alghifari Aqsa kepada Liputan6.com, Selasa petang.

Dia mengatakan, dari sisi substansi hukum, pihaknya berhasil membuktikan privatisasi air itu buruk, karena tidak ada pemenuhan hak-hak air dan merugikan keuangan negara.

"Seharusnya ini jadi patokan, substansi terkait hak-hak air dan penyelamatan keuangan negara telah berhasil dibuktikan Koalisi Masyarakat Sipil, sehingga ini yang jadi patokan untuk kebijakan selanjutnya," papar staf Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.

Dia pun menyarankan, dalam memutuskan kebijakan selanjutnya, Pemprov DKI harusnya menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus UU Sumber Daya Air sebagai acuan. Alasan MK, UU itu dinilai melanggengkan privatisasi dan bertentangan dengan UUD 1945.

"Sehingga pemenuhan ataupun pengelolaan air, harus dikelola oleh negara, BUMN atau BUMD," tegas Alghifari.

Lantas, apa kerugiannya jika pengelolaan air di Jakarta dikuasai swasta?

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Cara Cepat atau Lambat?

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi keterangan terkait pengambilalihan pengelolaan air, Gedung Balai Kota Jakarta, Senin (11/2). Pemprov DKI akan mengambil alih pengelolaan air dari PT Aetra Air Jakarta dan PT PALYJA. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Gubernur Anies Baswedan menegaskan, langkahnya untuk mengambil alih pengelolaan air di Ibu Kota dari tangan pihak swasta bukan tanpa alasan. Selain mencegah berlanjutnya kerugian, tujuannya adalah untuk mengoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat di masa Orde Baru, tepatnya tahun 1997.

"Dan kita tahu, selama 20 tahun perjalanan perjanjian ini, pelayanan air bersih di Ibu Kota tidak berkembang sesuai dengan harapan," jelas Anies di Balai Kota Jakarta, Senin 11 Februari 2019.

Anies memberi gambaran, di tahun 1998 atau saat swastanisasi dimulai, cakupan awalnya adalah 44,5 persen. Setelah berjalan selama 20 tahun (2018) dari 25 tahun yang ditargetkan, hanya meningkat sampai 59,4 persen.

"Artinya, selama waktu 20 tahun jangkauan hanya meningkat 14,9 persen," ujar Anies.

Kini, kerja sama dengan PT Aetra dan Palyja masih tersisa sampai 2023 dan sampai akhir kontrak kekurangannya adalah lebih dari 20 persen. Melihat capaian perusahaan ini selama 20 tahun terakhir, agak sulit untuk bisa menutupi kekurangan itu.

"Jadi bayangkan, lebih dari 20 persen harus dijangkau di tahun 2023. Sementara selama 20 tahun, swasta baru bisa melaksanakan peningkatan rata-rata 15 persen. Sekarang kita akan siap untuk mengambil alih dari swasta dikembalikan kepada pemerintah," tegas Anies.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi merespons positif keinginan Anies untuk mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta. Dia mengatakan, air itu hajat hidup orang banyak, sehingga tidak bisa dikomersialisasikan.

"Harus dikelola oleh negara, dalam UUD kan jelas bumi beserta air dan kekayaannya dikuasai negara. Jadi harus negara yang mengatur kalau kita konsisten dengan itu. Undang-Undang Sumber Daya Air kan juga sudah dicabut," ujar Tulus kepada Liputan6.com, Selasa (12/2/2019) petang.

Dia mengatakan, selain soal regulasi, kedua perusahaan yang memegang kontrak pengelolaan air di Ibu Kota tidak bisa memenuhi kewajibannya. Hal itu terbukti dari fakta bahwa jumlah air yang dipasok tidak sampai 40-45 persen dari kebutuhan warga.

"Juga soal kualitas air yang harusnya sudah layak minum, juga tak terwujud. Padahal, untuk Jakarta harusnya dipasok lewat PDAM untuk mengurangi eksploitasi di air tanah," jelas Tulus.

Bahkan, jika diurut berdasarkan pengaduan yang masuk ke YLKI, menurut dia daftar itu bakal sangat panjang. Mulai dari debit air, kualitas air jelek, frekuensi air, hingga pentarifan yang tagihannya membengkak karena berubah status kelas secara otomatis.

"Secara logika, privat kan mencari untung. Air yang bukan produk komersial dikomersilkan. Komersil itu kan artinya profit oriented berdasar mekanisme pasar, bagaimana mungkin air dikelola dengan mekanisme pasar?" ujar Tulus.

Sementara itu, Alghifari Aqsa yakin Pemprov DKI mampu menggantikan peran PT Aetra dan Palyja jika nantinya pengelolaan air diambil alih. Alasannya, dari segi pengelolaan Jakarta sudah sangat siap karena bisnis air ini tidak seperti bisnis tambang atau yang lainnya.

"Bisnis air ini mudah, pipa-pipanya banyak yang sudah dipakai oleh swasta puluhan tahun. Para pegawai PDAM yang selama ini ditempatkan di swasta secara skill juga sudah punya. Hanya, dalam pengelolaan oleh PAM Jaya nantinya, harus banyak akuntabilitas dan partisipasi publik," jelas dia.

Alghifari memastikan, pengambilalihan pengelolaan air dari pihak swasta akan sangat menguntungkan Pemprov DKI, apa pun cara yang ditempuh. Hal itu menurutnya bisa dilihat dari hitung-hitungan angka dan keuntungan yang bisa diraup.

"Pemda bisa untung Rp 400 miliar setahun dari pengelolaan air ini. Kalau misal ada denda yang harus dibayar ke swasta, dengan mudah bisa dibayar, akan lunas dalam beberapa tahun kalau pengelolaan dikembalikan ke publik," jelas dia.

Gubernur Anies sebenarnya sangat memahami bahwa pengambilalihan ini harus dilakukan secepat mungkin. Bahkan, dia tak rela kalau pengelolaan air baru diserahkan ke Pemprov DKI menunggu habisnya masa kontrak pada 2023.

"Kalau membiarkan sampai 2023, artinya rakyat DKI tidak akan merasakan penambahan yang serius, karena hampir pasti swasta tidak mau lagi melakukan investasi," papar Anies.

Yang jelas, Anies kini menunggu hasil penjajakan yang dilakukan PAM Jaya. Pada saat bersamaan, Anies juga menugaskan kepada Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum untuk mendampingi dan mengawal proses pengambilalihan ini.

"Yang akan melakukan proses ini nantinya adalah PDAM atau PAM Jaya. Karena selama ini perjanjian kerja samanya pun adalah antara PAM Jaya dengan pihak swasta," ujar dia.

"Policy kita adalah mengambil alih seluruhnya. Jadi, keempat aspek, yaitu air baku, pengolahan, distribusi, dan pelayanan, itu insyaallah kita akan kelola semua," pungkas Anies.

Kita tunggu janji air tanah itu segera mengalir ke setiap rumah di pelosok Ibu Kota.


2 Putusan Beda dari Merdeka Utara

Seorang anak mengambil air minum gratis saat run for water di CFD, Jakarta, Minggu (25/3). Run For Water kolaborasi PAM Jaya, Palyja, dan Aetra mengkampanyekan Hari Air Dunia 2018 mengajak masyarakat ayo peduli air Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Silang sengkarut pengelolaan air di Ibu Kota menjadi tak kunjung ada kejelasan salah satunya disebabkan dua putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan.

Awalnya, MA mengabulkan permohonan 12 warga DKI yang terdiri dari pemerhati, aktivis, dan konsumen air minum. Mereka mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI tentang kebijakan swastanisasi air di Jakarta.

Mereka yang menjadi tergugat adalah PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta DPRD DKI, dan Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI.

"Menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta," demikian bunyi putusan MA yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nurul Elmiyah, seperti yang diterima Liputan6.com, Kamis 12 Oktober 2017.

Dalam putusan itu dinyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui pada 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

"Menyatakan para tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta," tulis putusan itu.

Bukan hanya itu, MA juga memerintahkan para tergugat untuk menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI, mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

"Melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," jelas putusan MA.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai dari bukti-bukti dan fakta hukum, Perjanjian Kerja Sama Swastanisasi Air Jakarta telah melanggar Perda Nomor 13 Tahun 1992 dan pascaperjanjian kerja sama swastanisasi itu, pelayanan pengelolaan air bersih dan air minum warga di DKI Jakarta tidak meningkat dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas.

"Bahwa PAM Jaya kehilangan kewenangan pengelolaan air minum karena dialihkan kepada swasta, bahwa pertimbangan dan putusan dari Judex Facti Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar," lanjut MA dalam pertimbangannya.

Karena itu, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon.

Meski begitu, MA memberi waktu kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjalankan putusan ini. Sebab, dengan putusan itu, DKI harus menghentikan swastanisasi air minum yang kini dikelola PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).

"Ya tentunya tidak otomatis (swastanisasi air berhenti) begitu ya. Yang melaksanakan putusan harus ada waktu cukup untuk melaksanakan itu," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis 12 Oktober 2017.

Abdullah mengaku pihaknya tidak memberi batas waktu untuk melaksanakan putusan tersebut. Semuanya terpulang kembali kepada Pemprov DKI.

"Ya kita tidak bisa menentukan itu. Semua terpulang kepada pemerintah Provinsi DKI," tegas Abdullah.

Ketika Pemprov DKI mempersiapkan pengambilalihan pengolahan air itu, pihak Kementerian Keuangan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi yang mengabulkan kasasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta pada 10 April 2017.

Kemenkeu mengajukan memori peninjauan kembali melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 Maret 2018. Kementerian merupakan salah satu pihak yang digugat oleh koalisi penolak privatisasi air selain Gubernur DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI, dan PAM Jaya.

Adapun PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) merupakan pihak turut tergugat.

Dalam memori PK, Kemenkeu mengajukan empat argumentasi. Salah satunya, Kemenkeu menganggap gugatan yang diajukan 12 anggota Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta tidak termasuk kategori citizen lawsuit. Alasannya, gugatan tersebut menyertakan Palyja dan Aetra sebagai pihak turut tergugat.

Berdasarkan empat argumentasi itu, Kemenkeu meminta hakim agung yang mengadili perkara itu menerima/mengabulkan PK. "Membatalkan putusan Nomor 31 K/PDT/2017 (putusan kasasi) tanggal 10 April 2017," seperti dikutip dari memori kasasi yang diajukan Kemenkeu.

Saat PK itu berproses di MA, Gubernur Anies Baswedan membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum melalui Keputusan Gubernur Nomor 1149 Tahun 2018 yang ditandatangani pada 10 Agustus 2018. Tim tersebut diketuai oleh Sekretaris Daerah Saefullah.

Salah satu tugasnya adalah mengevaluasi kebijakan tata kelola air minum menyesuaikan putusan MA tentang penghentian kebijakan swastanisasi air. Tim itu diberikan waktu enam bulan masa kerja.

Belakangan, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Kemenkeu terkait swastanisasi air di Jakarta. Dengan putusan ini, maka, PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) bisa mengelola lagi swastanisasi air di Jakarta

Juru bicara MA Andi Samsan Nganro menerangkan, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) sebagai penggugat asal, tidak memenuhi syarat citizen law suit atau gugatan terhadap penyelenggara negara yang dianggap lalai dalam pemenuhan hak-hak warga negara.

"Betul (PK-nya dikabulkan), karena tidak memenuhi syarat citizen law suit," kata Andi di kantornya, Jakarta, Jumat 1 Februari 2019.

Kini, dua putusan yang saling bertentangan itu membuat Pemprov DKI sulit untuk bersikap dan bertindak.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya