Liputan6.com, Port-au-Prince - Sejumlah 78 tahanan di Haiti bagian selatan melarikan diri, saat polisi mengamankan protes anti-pemerintah.
Kepala Inspektur Ralph Stanley menyatakan, para tahanan pada awalnya meninggalkan sel untuk mandi sesuai jadwal. Selanjutnya, situasi protes berhasil dimanfaatkan oleh mereka untuk kabur, sebagaimana dilaporkan oleh media lokal Haiti Le Nouvelliste dikutip dari BBC News pada Rabu (13/2/2019).
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, barikade yang dibuat pengunjuk rasa telah memblokir pasukan polisi yang dikirim dari Les Cayes untuk mengejar narapidana yang melarikan diri.
Saat ini kepolisian Haiti tengah menyelidiki kasus ini.
Demonstrasi yang dimaksud telah berjalan enam hari menentang Presiden Jovenel Moise, beberapa pejabat, serta para mantan menteri yang menyalahgunakan pinjaman pembangunan. Dalam unjuk rasa, setidaknya empat orang tewas.
Sebelumnya, mantan Perdana Menteri Haiti, Jack Guy Lafontant, mengundurkan diri pada Sabtu 14 Juli 2018 setelah terjadi krisis kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak di negaranya. Ia harus menghadapi mosi tidak percaya dari parlemen atas kebijakannya menaikkan harga solar sebesar 47 persen, bensin 38 persen, dan minyak tanah 51 persen dari harga semula.
Haiti sendiri adalah negara termiskin di Karibia dengan 60% dari penduduk memiliki pendapatan kurang dari $ 2 (sekira Rp 28.000).
Simak pula video berikut:
Protes Antikorupsi di Haiti
Sementara itu, protes anti-korupsi juga berlangsung di Haiti pada 18 Oktober 2018 lalu. Puluhan ribu orang turut serta dalam unjuk rasa menuntut penyelidikan dugaan korupsi senilai hampir US$ 2 miliar (setara Rp 28, 07 triliun, dengan kurs Rp 14.000 per 1 dolar AS), yang dicuri dari dana program pengadaan minyak Bumi dari Venezuela.
Dikutip dari Miami Herald, dana tersebut seharusnya digunakan untuk membangun kembali Haiti setelah gempa dahyat pada 2010, yang menghancurkan banyak wilayah negara miskin di Kepulauan Karibia itu.
Juru bicara Kepolisian Nasional Haiti, Michel-Ange Louis-Jeune, mengatakan sedikitnya dua orang tewas selama aksi protes yang penuh ketegangan itu. Ia juga menyebut beberapa lainnya terluka dalam insiden tembakan-menembak, termasuk lima orang di Cap-Haitien, kota terbesar kedua negara itu.
Kerusuhan disebut bermula pada Kamis pagi di dekat kompleks pemakaman negara Pont-Rouge, di distrik Cité Soleil. Seorang perwira polisi Port-au-Prince dilaporkan terluka oleh lemparan batu ketika berusaha menghentikan serbuan massa, yang hendak menghadang kedatangan Presiden Jovenel Moïse dan beberapa pejabat pemerintahannya.
Polisi sempat menembakkan tembakan udara, yang membuat sebagian massa tiarap untuk berlindung. Namun, beberapa lainnya mendadak bersikap anarkis, melemparkab batu dan benda padat lainnya ke arah pihak keamanan.
Presiden Moïse dikabarkan telah dikawal pergi dari lokasi kerusuhan, meninggalkan prosesi peletakan karangan bunga yang belum selesai dilakukan. Ini merupakan kegiatan rutin tahunan untuk,memperingati meninggalnya bapak bangsa Haiti, Jean Jacques Dessalines, yang dibunuh di Pont-Rouge pada 17 Oktober 1806.
Melihat serbuan massa yang semakin tidak terkendali, Presiden Moïse diterbangkan dengan helikopter ke Marchand Dessalines, kota yang didirikan Dessaline dan menjadi ibukota strategis pertama Haiti setelah kemerdekaan.
Di Port-au-Prince, Louis-Jeune mengatakan para pengunjuk rasa merusak beberapa bangunan dan kendaraan, melemparkan batu ke kedutaan Swiss, meledakkan sebuah mobil dan, di Morne Lazard, berusaha membakar sebuah SPBU.
Setidaknya 11 kendaraan polisi rusak atau dibakar, sementara 11 petugas terluka akibat lemparan batu. Di Gonaives, di mana Senator Youri Latortue memimpin salah satu protes anti-korupsi, Louis-Jeune mengatakan "banyak batu" dilemparkan dan membakar barikade ban yang didirikan di depan sekolah hukum.
Advertisement