Pernyataan Donald Trump Dorong Penguatan Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.014 per dolar AS hingga 14.036 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 13 Feb 2019, 11:54 WIB
Teller tengah menghitung mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan Rabu pekan ini. Pernyataan Presiden AS Donald Trump menjadi pendorong penguatan rupiah. 

Mengutip Bloomberg, Rabu (13/2/2019), rupiah dibuka di angka 14.033 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.067 per dolar AS. Menjelang siang, rupiah terus menguat hingga 14.018 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.014 per dolar AS hingga 14.036 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah menguat 2,55 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.027 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan paatokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.088 per dolar AS.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, pasar memberi respons positif terhadap potensi kesepakatan perdagangan AS-China dengan pernyataan Trump yang menginginkan pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping. Padahal beberapa waktu lalu Presiden Trump memberi pernyataan sebaliknya.

"Rupiah akan menguat merespons euforia potensi kesepakatan dagang antara AS-China," ujar Lana dikutip dari antara.

Sebelumnya, pernyataan Trump yang menyebutkan pertemuannya dengan Xi Jinping kemungkinan besar dilakukan setelah 1 Maret 2019, yaitu tenggat waktu pelaksanaan tarif terhadap seluruh barang impor dari China, memberikan kekhawatiran terhadap pasar.

"Rupiah kemungkinan menguat ke level 14.000 per dolar AS sampai 14.050 per dolar AS," ujar Lana.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ekonom Indef Ragu Rupiah Bakal Terus Menguat

Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pemerintahan Jokowi-JK mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 15.000 per dolar AS. Angka ini berubah dari Rancangan APBN-2019 sebesar 14.00 per dolar AS.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Alviliani, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah pada tahun ini memang sulit untuk diprediksi. Sebab, kondisi perekonomian global yang terus bergejolak membuat nominal mata uang Garuda ini cenderung terus bergerak.

"Satu hal terkait dengan rupiah. rupiah saat ini sedang cenderung menguat terus ya. Jadi ini juga satu hal yang perlu kita cermati apakah akan terus menguat, keliatannya belum bisa kita pastikan," kata dia dalam acara Dialog Ekonomi Perbankan, di Jakarta, pada Rabu 30 Januari 2019. 

Aviliani mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi saat ini karena didorong berbagai faktor. Salah satunya melalui aliran modal dana asing yang masuk ke Indonesia cukup deras. Namun, dirinya meragukan, penguatan ini tidak akan berlangsung lama.

"Tapi apakah nanti setelah April ini akan terus menguat? artinya bahwa kita harus mengasumsikan nilai tukar rupiah ini lebih cenderung punya namanya antara, jadi jangan sampai pada satu angka, tidak bisa juga kita liat 14.000 per dolar AS ini seterusnya. Tapi kita harus bisa membuat range antara 14.000 per dolar AS hingga Rp 15.000 per dolar AS," jelasnya.

Aviliani menekankan, untuk menjaga kondisi penguatan rupiah pemerintah bersama Bank Indonesia perlu melakukan beebagai langkah. Caranya dengan mengkonversikan rupiah kepada beberapa mata uang negara asal tujuan. Artinya tidak hanya berfokus pada satu mata uang yakni dolar AS.

"Kita perlu cermati mungkin yen, yuan, euro di mana transaksi dagang kita termasuk pinjaman kita banyak yen ke Jepang, tapi belum dikonversi ke yen. Ini salah satu cara menyeimbangkan mata uang kita," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya