FIB Gugat ke MA Permenkes Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit 

Gugatan tersebut diajukan setelah FIB berdiskusi dengan apoteker di rumah sakit, dan sejumlah pihak, seperti pakar dan guru besar dari Perguruan Tinggi Farmasi.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jul 2020, 21:57 WIB
Ilustrasi Obat-Obatan Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Apoteker Indonesia melalui Presidium Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) menggugat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ke Mahkamah Agung (MA) RI karena dinilai mengancam profesi apoteker dan keselamatan pasien.

Gugatan tersebut diajukan setelah FIB berdiskusi dengan apoteker di rumah sakit, dan sejumlah pihak, seperti pakar dan guru besar dari Perguruan Tinggi Farmasi.

Dewan Presidium Nasional FIB Ismail Salim mengatakan, bahwa praktik apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di rumah sakit telah diatur pada PMK No 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah Sakit.

Disebutkan bahwa peran profesi apoteker di Rumah sakit meliputi standar (1) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Dan (2) Pelayanan Farmasi Klinik.

Ismail menjelaskan bahwa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang tidak efisien sehingga akan merugikan rumah sakit secara ekonomi dapat disebabkan akibat tidak adanya atau kurangnya jumlah apoteker yang ada di suatu rumah sakit.

Ditemukannya obat rusak, kadaluarsa maupun tidak tersedia (obat kosong) menjadi kejadian ikutan. Sehingga pengelolaan yang tidak efisien dapat merugikan pasien akibat pasien tidak mendapatkan sediaan farmasi, alkes maupun BMHP yang aman dan bermutu sesuai dengan kebutuhan mereka.

"Munculnya peraturan ini menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan pasien akibat tidak dikenalnya pelayanan kefarmasian sebagai suatu pelayanan tersendiri dan hilangnya pelayanan farmasi klinis," jelasnya.


Manfaat Baik

Ia menyebutkan bahwa dari sudut pandang ekonomi-kesehatan, berbagai studi menunjukkan bahwa integrasi praktik apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien di rumah sakit terbukti dapat memberikan manfaat baik. Manfaat dimaksud, kata dia, tidak hanya pada aspek klinis yang langsung dirasakan oleh pasien namun juga sisi ekonomi yang harus ditanggung oleh pasien dan manajemen rumah sakit.

Dikatakannya, peran apoteker dari sudut pandang klinis Permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat (Drug Related Problems-DRPs) di rumah sakit khususnya di Indonesia termasuk sangat tinggi bahkan hingga mencapai 56%.

Pada setiap 100 orang pasien yang di rawat di rumah sakit, 56 diantaranya akan mengalami permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat baik yang ringan sehingga dapat ditahan oleh pasien hingga kasus DRPs yang berat hingga menimbulkan kematian atau kecacatan permanen.

Tujuan akhir judisial review Permenkes Nomor 03 tahun 2020 adalah dikabulkannya petitum di antaranya: Pertama, menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan profesi yang profesional dan mandiri sebagai bagian dari pelayanan Rumah Sakit.

Kedua, berfungsinya pelayanan Farmasi Klinis yang menjamin tidak adanya medication error sehingga keselamatan pasien lebih terjamin dan menurunkan biaya pelayanan kesehatan. Ketiga, adanya pengaturan jumlah SDM Tenaga Kefarmasian minimal yang harus disediakan oleh RS sehingga pelayanan terhadap pasien bisa paripurna.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya